Dia tokoh sepuh masyarakat Kulon Progo. Namanya Maryata (bisa juga dilafalkan Maryoto). Atau lengkapnya Letnan Kolonel TNI (Purn) Maryata. Di lingkungan masyarakat Kulon Progo di perantauan sosoknya disegani. Apalagi, pria kelahiran Wates pada 10 Oktober 1939 ini, ikut mempersatukan paguyuban-paguyuban yang kelak melahirkan Badan Koordinasi Paguyuban Kulon Progo (Bakor PKP).
Dalam rangkaian perayaan Dwi Windu Bakor PKP (yang akan memuncak pada malam resepsi di Anjungan DIY TMIII, 20 April 2019), Letkol Maryata membagikan perjuangannya. Mulai dari perjuangan hidup sebagai militer hingga perjuangan mengumpulkan orang-orang Kulon Progo.
Lalu, ia memulai cerita dari Pakuat, sebuah komunitas tempat berkumpulnya masyarakat Wates di Jakarta. “Pakuat itu, tidak ingin sejauh ini, sebenarnya. Karena awalnya hanya ingin mengorganisir masyarakat dari Wates saja. Tapi kemudian semakin besar dan merangkul perantau dari seluruh Kulon Progo,” jelasnya.
Awalnya, bentuk organisasi Pakuat tidak begitu komplek, kalau bisa kumpul-kumpul sudah suatu hal yang bagus. Kumpulnya juga sekadar ngobrol-ngobrol, senang bertemu orang kampung, atau cerita saat masih tinggal di Wates. Jadi, sasaran jarak jauh, memang belum terfikirkan selain sekadar nostalgia.
“Untuk ngumpulkan orang Kulon Progo saja bukan soal gampang. Jadi pada saat bisa ngumpul sudah seneng benget. Komunikasi antar perwakilan kecamatan susah. Karena zaman itu belum ada telepon genggam,” katanya.
Tapi pada akhirnya, kumpul-kumpul yang semula bersuasana nostalgia, menjadi lebih luas dan serius. Lalu digagas membuat paguyuban yang tertata. “Pada waktu itu pertemuan di kediaman Pak Anton. Di Dewi Sartika, dirintis di situ karena susah komuikasi. Pada waktu rapat, yang perlu ditegaskan memang masalah komunikasi antar anggota. Makin lama makin maju bisa direncanakan lebih baik,” tambahnya.
Begitulah. Letkol Maryata memang salah satu tokoh penting di balik berdirinya Bakor PKP. Ia termasuk perantau Kulon Progo yang mampu meniti karir dengan baik hingga pensiun sebagai perwira menengah TNI.
Merampungan SMP di Wates, Maryata melanjutkan SMA di Jogja, karena di tahun 1957 saat ia masuk SLTA, di Kulon Progo belum ada SMA. Jadilah setiap pagi, Maryata naik kereta dari Stasiun Wates turun di Stasiun Tugu Jogja. “Zaman itu tahun 57 kereta api masih bagus tepat sekali. Saya belum pernah terlambat sekolah,” kenangnya.
Berangkat dari Wates pagi hari, jam tujuh sudah sampai Tugu. Maryata naik sepeda yang dititipkan di stasiun ke sekolahnya di Kota Baru yang hanya butuh mengayuh 15 menit. Selama tiga tahun di SMA 3B, ia tidak pernah telat meski tinggalnya di Wates.
“Jadi kalau naik kereta api, terpaksa jendela ditutup karena kalau dibuka, bisa kena abu kereta. Pakaian bisa terbakar karena abu yang terlempar dari lokomotif kadang kala masih membara. Waktu itu, barengannya banyak karena tidak sedikit anak Wates yang sekolah di Jogja naik kereta,” tuturnya.
Lulus SMA 3B tahun 60, Maryata mendaftar di Teknik Mesin UGM dan diterima. “Tahun itu ya lancar aja, cuma saya teringat sudadara saya banyak kalau saya kuliah adik-adik saya tidak kebagian biaya. Lalu saya mendaftar di Akmil, coba-coba tapi diterima. Ya sudah, jadinya tidak mikir biaya tinggal nglakoni aja. Cita-cita saya untuk memberi kesempatan adik-adik bsia kuliah terlaksana,” kata Letkol Maryata.
Lulus tahun 64, Maryata langsung dikirim ke Bandung untuk ikut kursus. “Sembilan bulan kemudian lulus. Tahun 65, di akhir Oktobere saya ditugaskan ke Kodam Bukitbarisan. Di sana Letda. Saya menjadi komandan pleton PKL selama jadi komandan pleton dapat tugas rangkap melatih mahasiswa Sumatera Utara. Zaman itu zaman Dwikora jadi semua dipersiapkan,” kenang Pak Maryata.
Setelah itu, ia diangkat menjadi komandan kompi satu batalion infantri untuk pengamanan kota Medan selama satu tahun. Waktu itu tahun 67-68. Terus dipersiapkan untuk Operasi Dwikora dilatih di daerah bukit barisan. Saat itu, latihan hutan gunung untuk dikirim ke Kalimantan Utara.
“Eh tahu-tahu ada perubahan pimpinan saya yang sudah diperisapkan ikut Operasi Dwikora tidak jadi berangkat, diganti batalion lain untuk berangkat ke Kalimantan Utara. Kemudian, saya dipindah ke Dairi Sumatera Utara. Jadi komandan kompi di tahun 69-72. Dari komandan kompi lapangan sampai markas yang mempersiapkan segala sesuatu kebutuhan operasi. Itu sudah kapten pangkat saya,” kata Pak Maryata mengisahkan perjalanan karirnya.
Dari Dairi, Kapten Maryata dikursuskan jadi guru militer di Bandung. Setelah kembali kursus, lalu dipindah menjadi pelatih infanteri komando Diklat Kodam di Siantar tahun 72-73. Dari tahun 73 diperintahkan pindah ke Bandung menjadi pelatih perwira. Naik pangkat menjadi Mayor.
“Pada tahun 74 jadi komandan detasemen markas pusat pendidikan infanteri. Sampai tahun 79, lalu sekolah komanda dan staf angkatan darat dididik selama setahun sehingga akhir 80 ditugasi di Markas Besar AD. Saat itu, saya menjadi Kepala Biro pendidikan di AD, mengurus pendidikan seluruh AD, jadi pangkat saya sudah Letkol,” katanya.
Pindah ke Jakarta tahun 80, delapan tahun kemudian, Letkol Maryata ditugaskan di luar Angkatan Darat. Ia menjadi kepala gelanggang olahraga Cilodong yang fasilitasnya sangat lengkap. “Ada lapangan tenis, tembak, golf indoor, sampai sepakbola. Tujuh tahun di situ, lalu mengajukan pensiun. Setelah itu, menjadi pelatih di lapangan tembak Senayan,” tuturnya mengenang perjalanan karirnya yang panjang.(kib)