ACI-1: Rindu Lugu yang Dipacu…

oleh -119 Dilihat
oleh

Panas tengah hari, menyenggat, membawanya berlarian menuju ruang kelas. Tapi bukan itu, sesungguhnya yang sedang dihindari. Bukan terik matahari yang membuatnya berlari. Sebab, ia memang sedang  dikejar keinginan untuk sampai di meja kelasnya. Ada yang selalu membuatnya berdebar, setiap kali masuk kelas, usai kelas pagi bubar.

Setiap siang, untuk meredakan hatinya yang berubah gundah, ia berlari, seolah menjemput sesuatu yang lama ditunggu. Benar. Sudah sepekan ini, larinya seperti tak ingin didahului siapapun. Dan, begitu sampai di mejanya, dengan gegas  ia melepas tas sekolah. Lalu, kepala merendah, merapat ke bibir meja, melonggok laci. Selalu seperti itu ritual yang dilakukan, seolah ada kegembiraan yang tak teraba oleh siapa saja.

Tapi kegembiraan, hari itu, bagai memuai. Hilang, terbang menyisakan lelah lari berpeluh. Hari itu, genap sepekan ia dirajang gairah, untuk kemudian dibawa pada anti klimaks yang menyiksa. Sebab, yang dijumpai hari itu, justru hatinya yang kemudian layu. Kosong, ditinggalkan daya secara seketika.

Duduk menunduk, laki-laki kecil yang sepekan ini senang masuk kelas secara bergegas, masih belum yakin dengan yang dijumpai. Ekspresinya ngeri, saat tangan  masih berusaha meyakinkan diri, dan berharap ada yang dijumpai di laci mejanya. Tapi memang tidak ada sesuatu pun di sana, selain kekosongan.

Rasa kecewa, kini datang lebih dramatis, karena muncul membawa nelangsa yang tiba-tiba. Merapikan tas sekolah yang semula dilemparkan begitu saja, luka hatinya mengangga. Dengan sangat, terlihat jejak duka di sana. Terpahat lekat di wajahnya yang perpaduan antara lugu  dan peragu, meski  ada sesuatu yang sulit dieja, yang membuat gadis-gadis kecil di kelasnya  enggan melepas penasaran.

Selama tujuh hari ke belakang, di laci meja yang ada di deretan pinggir paling barat itu, ia menemukan buku yang membuatnya berdebaran. Kadang penasaran, sementara di lain hari, tersipu-sipu. Ia masih sangat ingat, hari pertama, buku itu seperti sengaja ditinggalkan. Buku kosong yang dengan iseng ia tulisi kalimat-kalimat mendayu: sebuah kebiasaan buruk setiap kali melihat kertas.

Tak dinyana, esok siangnya, buku itu, kembali ditinggalkan. Tapi tidak lagi kosong. Kalimatnya yang mendayu itu, sudah lengkap, karena di bawahnya ada kalimat tambahan. Ia yakin, penulisnya seorang perempuan, kelihatan dari goresan tintanya yang rapi, indah, khas seorang gadis.

Keisengan yang menyenangkan itu, terus berlanjut. Setiap siang, ia seperti paling bersemangat masuk kelas. Andai ada yang memperhatian, gerakannya yang serba cepat itu, selalu sama: berebut duluan ke kelas, melempar tas, merogoh laci meja. Lalu, senyum-senyum sendiri.

Kemarin, yang berarti hari keenam, ia menemukan kalimat yang semakin memacu detak jantungnya. Ada gambar wajah di sana. Wajah yang dari gambarnya, terlihat cantik. Wanita bermata macan, alis yang nanggal sepisan, serta senyuman yang dirasakan perpaduan antara sinisme tapi memacu rindu. Bukan hanya gambar itu, yang membuatnya berdebaran lebih kencang dari biasanya. Sebab, di samping sketsa wajah itu, tertulis ajakan berkenalan.

Begitu saja, iatulis sebuah nama, yang sudah pasti bukan namanya. Nama yang ia ambil tanpa pertimbangan, dari penggalan nama-nama teman sebangkunya. Nama pertama, teman di sisi kanan, nama kedua teman di samping kiri, sementara nama ketiga adalah milik anak paling nyebelin dikelas hanya karena ia teman paling pinter.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.