Api Cinta (14): Cah Bagus Anakku, Rungokno Iki…

oleh -113 Dilihat
oleh

Di waktu senggang. Sore hari ketika duduk-duduk bersama Madanom, sengaja Madsani memperhatikan keduanya. Silih berganti dicermati wajah keduanya. Satu perempuan yang disayangi. Orang yang paling dekat dengan dirinya. Dalam suka dan dalam duka, bersama-sama.

Sedang di pangkuan istrinya, Paidi buah kasih sayang mereka selama ini. Harapannya di masa depan, bahkan jauh setelah kehidupan di dunia ini berakhir. Kelak ketika berada di perkampungan akhirat. Mereka akan bersama-sama dalam kehidupan yang dijanjikan Sang Khalik.

Paidi tampak merasa nyaman dalam bekapan ibunya. Kehangatang yang diberikan memberikan ketenangan. Tangis yang sering pecah dikeheningan, sirna seketika saat ibunya membekap. Mulutnya yang mungil. Namun nyaring menyuarkan tangis memekakkan kesunyian membahana.

Sekeras apapun tangisan ketika sang ibu sudah datang akan langsung berhenti. Seperti dikomando saja, sang ibu menyediakan air susu. Sementara mulut mungilnya akan langsung mengiyakan. Kontan saja tangisan melengking akan segera sirna. Meski masih dengan sesenggukan, namun hajatnya akan haus dan lapar segera hilang.

Madsani hanya dapat membatin. Dua sosok manusia sederhana. Sosok yang satu memberikan kehangatan. Sedang yang lain memberi kesejukan. Keduanya memberikan harapan. Sebuah harapan yang terang benderang, bagai fajar yang bersinar terang di pagi hari. Di kehidupan dunia yang fana ini. Juga kehidupan kelak yang kekal dan abadi.

Saat ini akan mendatangkan keindahan, keteduhan dan rasa nyaman. Penat setelah seharian bekerja menjadi hilang setelah menyaksikan interaksi keduanya. Seolah seluruh dunia tengah memperhatikan keduanya, memberikan dukungan untuk berbagai keperluan mereka.

Di hari esok keduanya juga yang akan menemani. Ketika kehidupan dunia ini berakhir, keduanya juga yang akan menjadi sandaran. Merekalah yang akan mengurus ketika dirinya terbujur kaku di pembaringan. Mereka juga yang akan mendoakan ketika di alam barzah, di alam kubur. Ketika di padang mahsyar yang tidak ada lagi pertolongan.

Madsani memandangi Madanom yang tengah menyusui Paidi. Keduanya diperhatikan secara bergantian. Keduanya sama-sama mendapat perhatian yang sama. Harapannya ke depan kedua sosok yang  sangat dekat dalam kehidupan akan memberikan arti bagi kehidupan di masa depan.

“Cah bagus anakku,” Madsani meneruskan lamunannya sambil terus memandangi istri dan anaknya. Engkaulah yang akan mendirikan dinasti Madsanen di masa depan. Aku ayahmu menaruh harapan. Di pundakmulah harapan ini digantungkan untuk mencapai masa depan yang lebih baik.

“Gus” Kamulah yang harus meneruskan cita-cita membangun kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat. Kedua orang tuamu tidak cukup memiliki kemampuan untuk mencapai cita-cita. Biarkan ayah-ibumu hidup dalam kesederhanaan. Hidup dengan susah payah hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar semata.

Kamulah ksatria yang lahir diiringi fajar sidik, harus benar-benar mendahului datangnya sang surya di pagi hari. Anakku kamu yang akan menjadi fajar sidik. Sedang generasi-generasi yang akan datang muncul sebagai mentari yang bersinar. Generasi sesudah kamu harus tampil sebagai pemimpin di antara kamu sekalian. (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.