ACI-25: Sombongmu kok Ora Ilang-ilang Ket Mbiyen

oleh -265 Dilihat
oleh

Lama. Tidak ada yang bersuara, selain hanya saling bertemu tatapan sesekali, untuk kemudian mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan alasan memandang arah lain. Selebihnya, berdiri, menjaga jarak, membiarkan matahari siang memanggang garang.

Indrajit sudah sejak melihat seragam, rambut kriwil, serta pawakannya, dari kejauhan, sesungguhnya telah kehilangan kata-kata. Keberaniannya hanya dibuat-buat, sekadar ingin menunjukan kepada Eko bahwa ia berani mendekati seseorang yang bahkan melihat seragam sekolahnya saja sudah kalah.

“Njuk meneng wae ki piye? Iseh ora wani ngajak dolan po?” Suara itu, adalah sebuah sengatan yang melebihi terik siang, bagi Indrajit.

“O jadi gitu? Sombongmu kok ora ilang-ilang ket mbiyen. Yo wes,” Indrajit melemparkan langkah, cepat menyeberangi jalanan tanpa melihat kiri-kanan. Jalan lurus ke arah barat, menyusuri trotoar depan pasar yang mulai redup dipayungi bayangan ruko-ruko.

Sakit hatinya membuat Indrajit seperti lupa bahwa ia tidak pernah mau menyusuri jalanan di depan pasar. Ada yang dihindari di sana, karena pernah ada insiden yang membuatnya mengalami trauma. Insiden yang berhubungan dengan masa lalunya bersama anak-anak yang biasa ngumpul di depan pasar Wates.

Derita dalam dada serta hati yang terhimpit, membuat Indrajit benar-benar merasakan penderitaan lengkap. Jika tidak ingat, ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk melupakan semua rasa sakit, ingin rasanya menangis. Benar. Sejak meninggalkan Sogan empat tahun lalu, ia sudah membuang sebelah hatinya yang terbelah-belah oleh perih.

Tapi hari ini, sebelah hatinya yang belum juga sembuh, sudah tersiram cuka. Pertemuan kembali yang tak terduga, membawa bara lama yang membakar belukar di dalam jiwanya. Semula Indrajit berharap, empat tahun tidak bertemu, bisa memperbaiki semuanya. Atau setidaknya, akan ada saat mereka bisa cerita banyak hal dengan lebih baik.

“Indrajit…” sebuah suara menghentikannya. Seperti orang linglung Indrajit mencari arah suara, tapi rasa kemranyas tiba-tiba membakar dada. Dari arah timur, ia kembali melihat si keriting, si pemilik senyum membunuh, si pemakai seragam sekolah paling menyeramkan.

“Hestirini…” Indrajit menarik nafas pajang, tapi menanti gadis yang namanya baru saja digumamkan secara lirih.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.