Api Cinta (52): Kabul… Kabul… Kabul…

oleh -291 Dilihat
oleh

Mirah naik panggung. Meski tertatih-tatih karena kain jarik yang menelikung kakinya. Suasana menjadi meriah. Suara suit-suit berlangsung mengiringi tepuk tanggan panjang. Suasana menjadi hidup.

Terlebih ketika Mirah mengawali acara dengan mengajak peserta yang hadir menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dengan gayanya Mirah menjadi pemain panggung, lincah mengendalikan suasana. Seperti tokoh Srikandi-Mustokoweni dalam dunia pewayangan. Layaknya Srikandi yang  cerdas dan mampu mrantasi ing gawe.  Sekaligus Mustokoweni yang mampu ngrampungi gawe dalam setiap suasana sehingga kepercayaan disandangkan kepadanya.

“Assalamu ‘alaikum,” Mirah membuka acara yang disambut dengan gegap gempita  Bapak Kepala Sekolah dan seluruh dewan guru yang kami hormati. Orangtua dan wali murid yang kami banggakan. Teman-teman seperjuangan yang kami sayangi. Adik-adik kelas yang masih akan meneruskan perjuangan kita di sekolah tercinta, almamater ini. Kini giliran kita, khususnya kelas tiga yang tahun ini akan meninggalkan sekolah tercinta menampilkan sejumlah prestasi selama tiga tahun bersama dalam suka dan dalam duka derita.

“Inilah penampilan mereka,” Mirah berteriak yang disambut tepuk tangan bergemuruh. Berbagai atraksi ditampilkan, mulai dari olahraga hingga pentas seni dan puncaknya pengumuman para jawara di berbagai-bagai bidang. Kesempatan yang sangat ditunggu, termasuk para orangtua yang hadir menyaksikan kemampuan anak-anak mereka selama dalam proses pembelajaran di sekolah. Dimulai dari juara kelas yang meliputi prestasi akademik, prestasi yang dicapai selama tiga tahun dan puncaknya juara umum.

Pengumuman ekstrakulikuler juga tidak kalah ditunggu. Sebagian besar anak laki-laki tidak tertarik dalam prestasi akademik, namun lebih banyak berkiprah dalam bidang ekstrakurikuler. Satu geng yang dikomandani anak-anak orang berada bahkan lebih banyak melakukan berbagai pertandingan di luar sekolah. Mewakili teman-teman dan sekolahnya berlaga di tingkat kecamatan dan kota. Sering mendapat kemenangan, namun tidak jarang juga membawa kekalahan. Namun mereka tetap bertandang ke kandang lawan, meski harus meninggalkan pelajaran di kelas.

“Paidi bin Madsani juara pidato Hari Kartini,” suara Mirah membahana yang disambut tepuk tangan panjang. Sementara satu grup yang terdiri dari teman-teman Paidi di belakang panggung bernyanyi dan berjoget. Sebagai ungkapan pesta atas prestasi yang diperoleh teman seperjuangan mereka. Selain bernyanyi dan berjoget ala mereka, tidak ketinggalan juga mereka mengharapkan bagian dari hadiah yang didapatkan.

“Kabul,… Kabul,… Kabul,” begitu teman-teman Paidi memberikan sambutan sepanjang acara berlangsung. Terlebih ketika Paidi kembali dari panggung mengambil hadiah yang disiapkan. Suasana makin riuh rendah. Menyambut kedatangan Paidi bagai pahlawan yang baru kembali dari medan peperangan.

Paidi menanggapi dengan senyum mengembang sambil melemparkan hadiah yang diterima untuk dibagi-bagikan kepada teman senasib dan seperjuangan. Paidi menyerahkan sebungkus hadiah yang diperoleh kepada teman-temannya. Semua dibagi habis sebagai wujud kebersamaan dalam suka dan duka. Sukses yang dicapai sebagai sebuah kebersamaan, meski secara pribadi menjadi kebanggaan namun sebagai bagian dari kelas tiga Paidi menunjukkan solidaritasnya.

Dalam banyak hal Paidi dan teman-temannya bersatu, termasuk ketika berjuang mendapatkan prestasi di antara sesama teman satu sekolah. Bukan semata-mata hadiahnya yang diharapkan, melainkan pretasi dan prestise. Sebuah kebanggaan bersama ketika kelasnya menjadi salah satu juara, meski bukan yang terbaik namun menempatkan prestasi di antara anak-anak yang jago dalam bidangnya masing-masing. Dalam berpidato Paidi menjadi juara, meski bukan yang terbaik namun menempatkan diri sebagai bagian dari siswa yang bisa berbicara di atas podium. (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.