Ki Kebo Kanigoro-1: Penerus Majapahit yang Memilih Perih

oleh -580 Dilihat
oleh

Remang petang, mengalirkan suasana magis. Gunung Merapi yang kelabu, seperti sedang murung.  Sementara alam yang mulai gelap, mengirim misteri yang tak tersibak. Misteri yang selama ini, nyaris tak pernah terjawab.

Saya menarik nafas panjang, memandang Merapi yang anggun tapi bisa seketika menjadi ngeri. Merapi seolah, selalu diselimuti kekuatan mistik yang tak pernah mampu diterjemahkan oleh logika siapapun. Dari kelabunya Merapi, saya menoleh ke belakang. Di sana, Merbabu tak kalah misterius.

Setelah tiga kali menarik nafas kemudian membuangnya pelan, saya menyadari, Selo hadir bukan tanpa sebab. Selo, nama dusun itu. Selo bisa bermakna jeda bisa juga rongga. Dan, nyatanya, Desa Selo adalah rongga raksasa antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Selo juga merupakan jeda, yang menurut masyarakat lokal, merupakan doa; tak akan pernah tersentuh api Merapi, karena dijaga oleh Ki Ageng Kebo Kanigoro.

Benar. Tujuan saya ke Selo memang ingin bertamu pada Ki Ageng yang sangat dihormati. Namanya kawentar, kondang kaonang-onang, masyur sebagai pewaris trah Majapahit yang punah.

Secara administratif, Selo masuk wilayah Kabupaten Boyolali. Sebagai kawasan di kaki Merapi, tempat ini dikharuniai keindahan. Saya datang, saat kabut mulai turun, bersama rinai gerimis. Maka makam Ki Ageng yang luhur, serta  Merapi selalu penuh misteri adalah sebuah getaran mistis yang menyusup hingga ke nadi.

Menyusuri Dukuh Pojok, Desa Samiran, tempat makam keramat itu menjaga asa warga, suasana Jawa kuno mengalir lembut. Keindahan, bahkan ikut menyentuh makam itu. Hem…Merapi menjadi beranda depan, sedang Merbabu adalah teras belakang. Sementara pepohonan yang tinggi menjulang serta lantai tanah berlumut adalah pijakan yang memberi tenang di hati.

Makam ini rasanya mampu menjadi penyeimbang Merapi yang kadang tak terduga. Pepohonan, keindahan, serta kekuatan gaib makam ini, memberi suasana tenang bagi warga di sekitarnya.

Selain bangunan utama, komplek ini juga dilengkapi tempat bertirakat, selain sebuah kamar mandi penziarah.  Sisa-sisa orang bertetirah masih terlihat, saat saya masuk. Aroma mistik mengalir dari sepotong kantil yang teronggok di tepi pusara.

Seperti umumnya tempat keramat, banyak pro kontra tentang makam ini. Ada yang menyebut sekadar petilasan, namun tidak sedikit yang yakin, di sinilah Ki Ageng Kebo Kanigoro disemayamkan.

Orang-orang Selo, tentu saja lebih kuat keyakinannya bahwa, pusara itu, milik Ki Ageng yang mereka cinta. “Tempat ini sering menjadi tempat tirakat para Sultan Jogjakarta dan Solo.” Kalimat itu datang dari juru kunci makam, tanpa merinci raja siapa saja yang pernah datang.

Tapi memang, tempat keramat ini, sangat tersohor di kalangan ahli tirakat. Saya membaca pada buku tamu yang disimpan sang juru kunci. Di sana, tercatat, orang yang datang, nyaris dari seluruh Nusantara.

Saat saya datang petang itu, sudah ada beberapa tamu, yang juga bersiap melakukan ritual. Lalu, di belakang saya, setidaknya ada satu rombongan yang terdiri dari tiga orang, meminta izin bermalam sambil bersemadi. Saya sendiri, bukan ahli semadi, tapi niat saya memang bertamu, berdialog, mengintip tanda-tanda zaman yang biasa terbaca dari tempat-tempat wingit para sakti dari masa silam.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.