Api Cinta (110): Paidi masih Asyik Bercerita dengan Ciblek

oleh -205 Dilihat
oleh

Di tengah perbincangan entah apa isinya, mereka bertiga memecah suasana. Tawa mereka lepas, berkepanjangan bahkan saling bersahutan. Kontan saja mengundang pemandangan berbeda dari sekelilingnya. 

Mereka tetap asyik dengan obrolan bertiga, sementara sekelilingnya  tidak lagi menghiraukan. Masing-masing dengan kesibukan mereka sendiri-sendiri.  Paidi berada tidak jauh dari mereka bertiga. Mereka sengaja memisahkan diri. Bercerita tetapi tidak bersama-sama. Pembahasannya juga akan berbeda.

Mereka akan bercerita bagaimana mendapatkan keuntungan dari perdagangan yang dilakukan keluarganya.  Atau jabatan yang bakal disandang kerabatnya setelah lulus testing pegawai pemerintahan. Bagaimana mengumpulkan sebanyak-banyaknya deposito untuk kepentinganhari esok.

Sekitar masalah perjuangan kaum terpinggirkan hanya menjadi tema menarik bagi Paidi. Pasti tidak menarik perhatian tiga serangkai yang membawanya malam-malam  sampai Simpang Lima. Diskusi berbagai isu nasional hanya akan memekakkan telinga para pejabat dan pembuat kebijakan saja.  Orang-orang di sekitarnya, termasuk tiga serangai yang menikmati berbagai kemudahan tidak hendak beranjak dari posisinya yang sekarang. Mereka akan berusaha mempertahankan situasi dan kondisi seperti sekarang.  Perubahan di tingkat nasional biar para pembuat kebijakan di tingkat pusat yang mengurusnya.

“Cabut sekarang.” Mereka bertiga seperti sepakat untuk segera mengakhiri kongkow-kongkow malam di Simpang Lima. Paidi masih asyik bercerita dengan Ciblek yang menjajakan minuman dan makanan ringan.  Paidi beranjak meninggalkan teman bicaranya, tanpa bertanya siapa nama dan tinggalnya. Paidi hanya tahu remaja tanggung itu mengaku putus sekolah. Setamat SMP tidak dapat melanjutkan pendidikan di kampung  halamannya.

Merantaulah ke ibu kota provinsi yang sudah menjadi metropolitan.  Namun pekerjaan yang diharapkan tidak kunjung diperoleh. Pendidikan pertama tidak cukup bekal ketrampilan dan pengalaman untuk bekerja, meskipun di perusahaan swasta. Pekerjaan yang mungkin dilakukan hanyalah di sektor informal.  Berjualan menjajakan makanan dan minuman, meski harus berjuang semalaman hingga menjelang dini hari.

Untuk mempertahankan hidup di metropolitan, harus berjuang. Sektor informal menjadi salah satu katup pengaman di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Pedagang keliling di pagi dan siang hari sudah terlalu banyak. Pasar tiban juga berlangsung di mana-mana sehingga kesempatan berjualan di pagi dan siang hari terlalu banyak persaingan.  Kesempatan yang masih terbuka lebar di malam hari. Meski banyak risiko termasuk stigma negatif sebagai Ciblek, cilik-cilik kok betah melek.

Tiga serangkai, tiga sekawan sudah menstarter motor. Mereka bahkan memainkan gas sehingga knalpot modifikasinya membuat suasana gaduh. Suara bising memekakkan telinga. Namun mereka seperti tidak perduli dengan lingkungan dan sekitarnya yang merasa terganggu. Mereka sengaja memainkan gas sehingga mengeluarkan deru bersahutan.

“Cabut,” kata mereka seperti berseru meningkahi suara knalpot.  Paidi sigap langsung membonceng salah satu dari motor mereka. Tidak ada tumpangan lain, apalagi tengah malam. Angkot yang biasa membawanya ke mana-mana sudah tidak ada. Berjalan kaki sampai ke rumah rasanya melelahkan. Tidak terlalu jauh memang, namun kalau ditempuh sendirian, iseng juga rasanya.

Paidi membonceng sambil menahan kantuk. Di tengah gelap gulita, tidak tahu arah mana jalan yang ditempuh. Dalam benaknya yang penting sampai kost, langsung tidur dan memulai aktivitas rutin esok hari. Setengah jam perjalanan, kok belum sampai di kost. Namun tidak hendak protes juga, tok suara protesnya tidak terdengar tertelan bising knalpot. (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.