ACI-27: Awas Loh kalau sudah Ketaman Asmoro…

oleh -105 Dilihat
oleh

Angkutan umum bergerak perlahan. Indrajit dan Hestirini terguncang sebentar, sebelum jemari gadis dengan mata elang itu, mencari pegangan di tangan Indrajit. Tidak ada kata-kata, selain hati mereka yang berusaha berdamai.

Bagi Rini, inilah saatnya membangun kembali perasaan yang tersimpan sepanjang empat tahun. Ia tak ingin kehilangan waktu lebih lama dengan membiarkan perasaannya tersimpan di ruang senyap hatinya. Ia tak peduli jika misalnya Dik Ning, akan menertawakan sikapnya yang sekarang lebih agresif.

“Jangan pernah bangga dengan sikap introvertmu itu dik, awas loh kalau sudah ketaman asmoro, iso lebih ekspresif loh.” Kalimat itu, disampaikan dengan sangat jelas oleh Dik Ning sambil senyum-senyum tidak jelas. Dan, sekarang, kalimat itu seperti datang menjadi jawaban yang sangat gamblang atas semua keresahannya selama ini.

“Iki buku opo to?” Indrajit mengangkat buku lusuh dengan sampul biru muda yang birunya mulai menipis sehingga menjadi  biru keputih-putihan. Rini mendekatkan telinganya karena suara Indrajit tertelan suara mesin yang kemrosak.

Dengan kepala yang nyaris menempel, Indrajit justru menjauh. Ia tidak kuat dengan suasana yang terlampau memukau itu. Hatinya mudah sekali dibuat menggelepar, sedang Hestirini seperti tidak sabaran dengan sikap pria di sampingnya.

Buku bersampul biru mengelupas itu, dibuka. Tapi segera saja, tangan Hestarini menutup, cepat. Ia mengambilnya, lalu meletakkan kembali di antara buku-buku Indrajit.  Melihat itu, Indrajit membiarkan tanda tanya di hatinya bertemu kebuntuan.

“Mengko diwoco nang omah wae,” kata Hestirini diakhiri dengan senyuman. Senyum yang dirasakan Indrajit mulai menyenangkan, karena ia merasa tidak lagi ada kesinisan di sana.

“Besok saja kita bahas soal isi buku itu.”

“Iki buku jaman SMP to?”

“Iyo, iseh kelingan to..?”

Indrajit tidak menjawab, ia hanya memberi gumam lirih sebelum menghempaskan matanya ke sisi kiri. Hijau persawahan menuju Mbonangung berlarian, pohon asem yang mulai rimbun di kiri-kanan jalan, ikut berlesatan seperti berkelebatannya hari-hari silam, yang silih-berganti memberi warna hidupnya.

Lesatan dan kelebatan bayang-bayang masa silam, diterkam bunyi gemblodak, saat ban beradu dengan lobang besar yang membuat mobil oleng sebentar. Indrajit kembali terlempar, sedang Hestirini mencengkeram tangannya. (bersambung)