ACI-28: Cukup dengan Tulisan ACI di meja Kelasmu Itu

oleh -257 Dilihat
oleh

Tertegun, ngungun, tapi hatinya tersentuh oleh kalimat-kalimat di buku lawas itu. Yang ia ingat adalah tulisan itu. Tulisan yang membawanya kembali ke hari-hari indah, empat tahun silam.

Sudah beberapa kali, Indrajit menelan ludah dalam sengal nafas yang berat. Sudah tidak terhitung bagaimana ia unjal nafas, menghempas udara seolah melepas beban di dadanya. Beban masa silam yang tak usai disesali.

Secara perlahan, Indrajit menimang ulang buku usang yang merekam suasana dalam sepotong hatinya. Dibuka lagi, seperti tak ingin kehilangan satu kata pun dari tulisan Hestirini yang selama ini mengerangkeng rasa rindu.

“Cinta tidak perlu diucapkan, cukup diresapi.”

“Tapi cinta yang tak terucapkan, hanya menyengsarakan. Baranya membakar karena, membuat hangus perasaan.”

“Bagiku cukup dengan tulisan ACI di meja kelasmu, maka kita sudah berpacaran sejak itu. Untuk apa harus diulang dari awal?”

“Tenane?”

“Tenin, mbok wani tok kapake.”

“Kok podo yo…”

Indrajit selalu tercekat, tersedak, mak deg, setiap kali membaca penggal-penggal kalimat yang ditulis seperti sebuah dialog. Ada suasana rencah dalam dialog itu. Ada senyum yang membuat hati Indrajit ringan, kini. Ia tahu, semua yang ditulis Hestirini adalah sebuah reptisi hidupnya.

Memang, di sebuah celah senja, Indrajit pernah menuliskan kalimat tentang cintanya yang tak sampai. Aneh. Kalimat itu menjadi pengunci buku lama yang sepertinya sudah terlalu sering dibaca ulang: Cinta tak perlu diucap, ia hanya butuh dikayuh, terus-menerus agar tak tergerus paruh.(bersambung)