ACI-34: Cinta Ini Ada Sejak Dulu, Hari Ini, Esok Hari…

oleh -104 Dilihat
oleh

Hestirini dan Indrajit berjalan amat pelan, seolah wegah, satu satu langkah melemah, meninggalkan Gadingan. Tidak ke arah timur, tempat angkutan umum ngetem, melainkan ke arah utara, melewati pasar lalu lurus ke barat.

Berjalan beriringan, sesekali beradu lengan, mereka bisu. Indrajit masih belum hilang ngungunnya, melihat keberanian Hestirini mendatangi sekolahannya. Padahal, ia sudah berkeras untuk melupakannya, setelah sejak kemarin seluruh rasa sakit menyesaki hati.

Hestirini beberapa kali menyentuh wajah Indrajit dengan sapuan pandangan. Tanpa ekspresi, kaku seperti biasanya.

“Jit, Rini boleh ngomong terus-terang?”

“Yo oleh lah, mosok ora.”

“Kamu tahu, cinta ini ada sejak dulu, saat ini, esok hari, dan hingga nanti.”

Indrajit melambat, menoleh kecil, lalu memandang lurus. Ia seperti ingin mendengar Rini mengulangi kalimatnya. Tapi yang kemudian keluar sebagai ucapan, justru hal yang mengejutkan. “Piye carane supoyo aku percoyo prasetyamu iku?”

Kini, giliran Rini yang melambatkan langkah. Ia juga tidak percaya dengan pertanyaan Indrjit yang seperti merujit-rujit, mencubit-cubit harga dirinya karena janjinya dengan begitu mudah diragukan. Lalu, ia kembali berjalan dengan agak cepat, setelah Indrajit menyepak batu kecil di depannya.

“Kamu sudah baca buku kemarin itu? Semua ada di sana, seluruh perasan Rini ada di sana, Jit. Kamu tahu, flamboyan yang kamu hadiahkan dulu itu, juga ada di sana. Tidak sak ombyok, tapi setangkai yang Rini ambil sebagai kenangan.  Sudah mengering, tapi menjadi penghibur hati Rini, karena kamu menjauh.”

Indrajit terpana. Benar-benar terpana. Memang, di dalam buku yang diberikan Rini itu, ia menemukan serpihan daun kering, yang rupanya flamboyan lapuk dipeluk empat tahun perjalanan prasangkanya.

Indrajit benar-benar berhenti. Menepi di pinggir warung yang menyisakan kanopi untuk berteduh. Perlahan, Indrajit mengambil buku lusuh yang dua hari ini, menemaninya. Lalu, dibuka, persis di serpihan daun kering itu. Hestirini mengikuti semua gerak tangan Indrajit yang seperti sebuah tarian, pelan, penuh irama.(bersambung)