Api Cinta (11): Suara Gaduh Tiba-tiba Menyeruak

oleh -147 Dilihat
oleh

Simbok memang sudah berpengalaman menghadapi hari-hari seperti itu. Banyak pengalaman karena banyak anak yang harus diurus sendiri. Mulai dari masa kehamilan, persalinan bahkan beberapa hari sesudahnya sudah harus melakukan aktivitas seperti biasanya. Tidak berlama-lama dan tidak bermanja-manja, semua berjalan apa adanya. Semua berjalan seperti datang dan perginya sang surya di pagi hari untuk pergi di sore hari dan kembali lagi di pagi hari.

“Kuatkan hatimu,” simbok berpesan sebentar sebelum keluar rumah mencari uborampe yang diperlukan untuk sebuah persalinan. Tidak banyak hanya barang-barang yang diambil dari  lebuh, berupa uwuh dan sedikit pengetahuan untuk meramunya.  Barang-barang yang berupa umbi, daun dan akar dikumpulkan, dipipis, dideplok dan di parut.  Ada untuk keperluan sang jabang bayi, ada yang untuk ibunya si bayi dan keperluan lain di hari-hari berikutnya.

“Mbok,… eeemboook,” Madanom mengerang kesakitan. Kebetulan Madsani sedang tidak di rumah. Keluh kesah semuanya ditumpahkan kepada simboknya yang setia menemani. Sambil mondar-mandir mempersiapkan persalinan yang dibantu seorang dukun beranak, simbok tampak cekatan. Seperti tidak hendak didahului sang waktu, semua berjalan seperti keinginan. Tidak bermaksud merepotkan Madsani yang tengah berusaha di ladang. Sedapat mungkin semua dilakukan sendiri. Dalam pikirannya  Madsani toh tidak akan dapat melakukan banyak hal, apalagi untuk beberapa urusan yang sangat khas perempuan seperti persalinan.

“Sebentar lagi,”

“Masih ada waktu,”

“Siapkan uborampe,” itu yang keluar dari mulut simbok berkali-kali. Simbok  menyampaikan beberapa pesan kepada Madanom,  untuk sabar dan tawakal. Tabah menghadapi semua yang bakal terjadi. Semua akan berjalan lancar seperti apa yang diinginkan.  Semua itu merupakan sebuah bakti seorang istri dan perempuan atas kodratnya.

“Sing sabar yo nduk,”

“Biar tawakal,”

“Tabah,”

Sebentar lagi juga akan berakhir, semua akan berjalan lancar seperti harapan semua orang. Hanya memang ada rasa yang luar biasa, entah seperti apa. Dirinya sudah lama lupa rasa itu. Berkali-kali melahirkan, berkali-kali merasakan sakit namun hal itu terus berulang. Sepertinya rasa jera tidak pernah ada dalam kamus kehidupannya.

Suara gaduh tiba-tiba menyeruak. Ditingkahi dengan suara gelisah. Sesekali rasa syukur yang menggema. Suara yang datang dari orang-orang di sekitarnya, entah siapa. Madanom tidak tahu lagi. Hanya satu yang diinginkan, bagaimana keadaan bayi yang baru dilahirkan. Seperti apa buah cintanya bersama Madsani, sebuah karunia yang diberikan kepadanya.

“Laki-laki,”

“Lanang,”

“Bagus,”

“Koyo bapake,”

“Oek,… oek,… oek,”

Hanya itu yang masuk di telinganya. Selebihnya tidak terasa lagi. Semua seperti kehilangan tenaga. Namun dalam hatinya tersenyum. Buah hati dan cintanya lahir selamat. (bersambung)