Api Cinta (12): Nanti ndak Malah Kabotan Jeneng

oleh -189 Dilihat
oleh

Anak-anak yang sebentar lagi dapat menemani bapaknya ke sawah, ke ladang dan kemana saja. Anak-anak yang lucu, tempat bercanda bersama dan berbagi banyak hal.

“Paing,”

“Wage,”

“Pon,”

“Suro,”

“Sapar,”

“Sawal,”

Jangan. Jangan itu nama-nama ndeso yang tidak cocok dengan keadaan hari esok. Mendingan nama-nama para priyayi, biar anak lanang menjadi priyagung di kemudian hari. bukankan nama itu sebuah doa yang seperti dikehendaki orangtua kepada anaknya.  Nama itu menjadi perlambang atas apa yang diinginkan pemiliknya di kemudian hari.

Apa kalau begitu pakai nama-nama yang lebih mentereng. Seperti misalnya nama-nama para penggede. Para pesohor di kampung Jamsaren sehingga dapat mengikuti jejak mereka. Seperti nama-nama yang dapat diambil dari orang yang misuhur.  Kalau tidak pakai saja nama-nama para nabi dan rasul yang mendapat jaminan dari Sang Maha Kuasa.

“Bambang,”

“Bagus,”

“Bagas,”

“Fajar,”

“Samsi,”

Jangan, jangan nama-nama itu. Meski tidak nama yang ndeso, kayaknya kok wagu. Atase anaknya Madsani kok pakai nama-nama seperti itu. Nanti ndak malah kabotan jeneng.  Jangan nama-nama yang aneh di telinga. Biar saja tidak nganeh-anehi. Biar saja tetap wong Jamsaren, namanya ya disesuaikan dengan keadaan sekitarnya.

“Paidi,”

Madsani yakin dengan nama itu, biar ndeso tapi pas benar dengan sang jabang bayi. Pas dengan alam dan lingkungan sekitarnya. Nama sebagai sebuah tetenger yang mudah-mudahan membawa kebaikan. Saat ini dino pasaran paing sehingga biar menjadi pengeling-eling, ambil saja nama paing dan dino. Keduanya disatukan, ngaat dan paing menjadi Paidi.(bersambung)