Waktu terus bergerak. Tapi Paidi masih tetap tak bersuara. Madanom dan Madsani, hanya berganti-gantian berbicara meski tetap saja yang mendominasi pembicaraan hari itu, adalah Madanom.
Seperti tak habis-habisnya, biyungnya Paidi itu mengalirkan kata-kata. Entek golek kurang amek. Hanya sesekali saja, Madsani menimpali atau sekadar menambah dengan kalimat pendek yang berisi penegasan.
“Golek bojo wong cerak wae le,” katanya, mengulang kalimat yang sudah diucapkan beberapa kali. Paidi masih sempat menghitung, setidaknya ada lima kali, biyungnya itu mengucapkan kalimat permintaan yang sama. Jika dijumlah dengan kalimat serupa yang diucapkan dengan cara berbeda, akan menjadi lebih banyak lagi.
Ingin, sebenarnya, Paidi menyudahi, atau meninggalkan pertemuan itu. Tapi ia tidak melihat ada cara yang bisa dilakukan. Jika hanya pergi begitu saja juga mustahil. Ia tidak ingin menyakiti hati orangtuanya. Jadilah, sepanjang bertemu ramak-biyungnya, tidak banyak kata yang diucapkan.
Sesekali saja, Paidi menanggapi. Itu pun dengan mengiyakan secara pendek. Atau, paling-paling mengangguk, tanda mengerti apa yang disampaikan biyungnya. Selain itu, ia hanya diam, dengan lebih banyak menunduk.(bersambung)