Api Cinta (16): Sepanjang Hari Paidi hanya Menangis

oleh -111 Dilihat
oleh

Suatu kali Paidi melalui kerumunan ibu-ibu yang tengah menumbuk padi. Siang hari di kandang kerbau yang ditinggalkan pemiliknya. Kerbau-kerbau di siang hari harus bekerja membajak sawah. Pulang ke kandang ketika hari menjelang sore atau bahkan malam hari.

Ketika siang tengah terik, Paidi mengendap-endap. Agar simbok, mbokde, mbok cilik dan mbakyu tidak mengetahui kedatangannya. Paidi berharap kedatangannya menjadikan surprise. Menghamburkan abu dari sisa pembakaran jerami di kandang si kerbau.

Paidi langsung naik ke kandang. Tanpa aba-aba, tidak ada yang meminta. Juga tidak ada komando yang menyertainya. Tiba-tiba saja Paidi langsung meloncat ke gundukan sisa pembakaran jerami. Namun bukan abu berhamburan yang menempel di rambut-rambut simbah dan simboknya, melainkan api membara yang membakar kedua kakinya yang masih kecil.

Kontan saja Paidi menjerit, meronta dan lari tunggang langgang. Bukan abu seperti yang tampak di permukaan, melainkan api dalam sekam. Api membara yang berhari-hari tidak akan padam. Akan terus memunculkan asap dan abu di permukaannya. Namun di dalamnya menyimpan api yang membara yang siap membakar apa saja, termasuk kaki kecil Paidi.

Simbok yang sangat menyayangi melampiaskan kekesalannya. Paidi diseret, ditempeleng. Seketika muncul kepanikan di antara simbok, simbah dan mbakyu. Ketika itu muncul usulan aneh-aneh, dari yang masuk akal hingga yang tidak masuk akal.  Simboknya bertindak cepat sambil menyiram minyak tanah ke seluruh kaki Paidi. Dari sekian banyak usulan hanya lengo potro yang mudah didapatkan. Setiap rumah tangga selalu memiliki persediaan minyak tanah untuk berbagai keperluan sehari-hari.

Tindakan cepat diperlukan agar kaki yang terbakar tidak melepuh. Simbok membawa Paidi ke tabib untuk mendapatkan kesembuhan. Selama di perjalanan, Paidi terus menangis. Kedua kakinya yang terpanggang api dalam sekam, mulai melepuh. Berair dan mulai mengeluarkan bau tak sedap.

Mulut Paidi terus merancau. Menangis tidak henti-hentinya. Sementara tabib yang dituju masih di pasar. Belum memberikan terapi kepada Paidi. Padahal Paidi membutuhkan segera. Agar luka bakar yang melepuh di sekujur kakinya berangsur pulih.

Berhari-hari Paidi tidak dapat melakukan aktivitas. Gerak lincahnya yang selama ini dipertontonkan seolah hilang ditelan bumi. Tidak ada lagi keceriaan, kelincahan dan sepak terjang Paidi. Semua sirna. Seluruhnya tidak ada yang tersisa. Sepanjang hari Paidi hanya menangis. Tidak lain.

“Panas… panas … panas,”

“Aduh…. aduh …. aduh,”

Hanya itu yang keluar dari mulut kecil Paidi. Dari pagi hari setelah bangun tidur, hanya itu yang dilagukan. Siang hari ketika terik mentari menerpa bumi dan seluruh isinya, Paidi juga mendendangkan lagu yang sama.

Ketika malam menjelang. Simbah, simbok dan bibinya mengipasi kaki Paidi. Namun tetap mengerang kesakitan. Panas bara dalam sekam tidak mampu dienyahkan. Padahal tabib sudah memberikan ramuan daun dari berbagai tempat. Tangisan baru berhenti ketika mata terpejam, tertidur lelap setelah kecapaian mengaduh. (bersambung)