Api Cinta (23): Berhari-hari Paidi Merenung

oleh -411 Dilihat
oleh

Hari-hari berikutnya Paidi beraktivitas seperti biasa. Tidak ada perubahan sikap dan perilakunya. Pagi hari berangkat sekolah. Siang harinya menggembala kerbau dan gondheknya. Menjelang sore memandikan kerbau di sungai yang hampir menelan habis tubuhnya yang ringkih, kurus kering.

Paidi mulai ekstra hati-hati dengan derasnya air sungai. Untuk langsung terjun ke sungai, ngeri rasanya. Hanya di pinggir sungai, meski keruh dan dangkal terasa aman. Arusnya tidak deras, kalau banjir datang menerjang dapat langsung naik ke atas. Tidak perlu melalui gethek yang menyulitkan.

Tidak peduli diolok-olok sebagai tidak pandai berenang. Dalam pikirannya hanya satu, tidak ingin terbawa arus sungai yang menggelegak. Tidak perwira ya biar saja. Tidak berani menantang medan perjuangan, ya diterima saja.

“Mereka tidak kunjung memberikan bantuan ketika aku hampir kelelep,” Paidi membatin. Bukankan dia harus berjuang sendiri untuk dapat mencapai daratan. Tidak ada satupun teman yang memberikan bantuan. Juga tidak ada yang peduli. Mereka menyelamatkan diri sendiri. Masing-masing berjuang dengan kekuatan sendiri.

Berhari-hari Paidi merenung. Sambil menggembala kerbau dan gondheknya Paidi masih memikirkan hari-hari yang menyulitkan. Sehari, dua hari, sepekan, bahkan sampai beberapa pekan, Menjelang selapan, Paidi sampai kepada satu kesimpulannya sendiri.

Meski nalarnya baru saja berkembang. Belum utuh terbentuk, namun perjalanan hidup mengharuskan berpikir keras. Pengalaman pahit yang menderanya mentas dari banjir bandang yang menyeretnya menjadi pengalaman berharga. Kesimpulan kecil dan sepotong dapat dirajutnya.

Paidi sampai pemikirannya sendiri. Untuk mencapai sesuatu yang dapat menyelamatkan diri harus dilakukan sendiri. Bantuan orang lain yang sangat diperlukan terkadang tidak muncul. Bantuan sering datang di saat kondisi sudah sangat normal. Ketika suasana genting  bantuan justru menghilang.

Dalam mengarungi kehidupan di alam ramai, digambarkan sebagai upaya mentas dari banjir bandang yang menyeretnya. Kehidupan digambarkan sebagai banjir yang menggelegak, menyeret apa saja yang menghalangi. Kehidupan adalah banjir yang siap melumat siapa saja.

Untuk mencapai keselamatan hidup. Tidak dapat lain kecuali berupaya sendiri. Berjuang untuk mendapatkan kehidupan seperti diharapkan. Sama halnya dengan untuk mencapai kesuksesan hidup. Bukan siapa-siapa yang harus berjuang. Melainkan dirinya sendiri. Kalaupun ada bantuan yang datang dapat diterima. Meski tidak menjadi gantungan satu-satunya. (bersambung)