Api Cinta (56): Paidi hanya Bisa Ikut Prihatin

oleh -120 Dilihat
oleh

Paidi melayang. Pikirannya melayang, membubung tinggi mencari cara bagaimana mencukupkan seluruh kebutuhan. Memang masalah seperti itu bukan urusan Paidi, namun Paidi tetap tidak dapat tinggal diam.

Meski hanya ikut memikirkan, tanpa dapat mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalah. Apalagi menyangkut masalah uang dan upaya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Buruh menjual tenaga, badanya ringkih. Tidak diterima sebagai buruh angkut atau apapun. Ketrampilan yang dapat ditawarkan kepada masyarakat juga belum ada.

Paidi hanya ikut prihatin, bapak-biyungnya yang pontang-panting mengurus anak mereka. Makanan sehari-hari masih dapat ditemukan, meski harus mengais di kebun belakang rumah. Sayur-mayur masih dapat diperoleh dari sawah dan ladang.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup ditambah membiayai sekolah, inilah yang terasa berat. Ditambah lagi tidak hanya satu dua anaknya yang sekolah, hampir semua membutuhkan biaya sekolah kecuali si bungsu yang masih balita. Apalagi untuk keperluan sekolah, tidak dapat ditunda. Membeli buku dan perlengkapan juga tidak dapat ditawar esok atau lusa. Kalau kebutuhannya sekarang maka saat itu juga harus tersedia secara kontan. Bapak ibu guru tidak mau mengerti kalau Paidi harus menunda bayaran sekolah. Tidak ada toleransi sama sekali, kebutuhan sekarang harus dipenuhi tanpa ditunda.

Sementara hanya Madsani seorang yang mencari penghidupan. Bahunya hanya dua dan sudah mulai terbungkuk, kaki dan tangannya juga dua. Tidak dapat bertambah menjadi empat atau lima yang memungkinkan berkerja lebih cepat. Pikiran dan perasaannya cuma satu sehingga tidak dapat digerakkan lebih dari kemapuannya yang sangat terbatas.

Tenaganya tidak mungkin menjadi sosro bahu, meski sudah sekian lama tiwikromo. Waktu yang harus dilalui juga terbatas. Seperti hari-hari biasanya. Matahari berputar dari fajar di ufuk timur hingga senja di sore hari. Malam-malamnya juga tidak bertambah. Hanya sedikit waktu untuk tetap terjaga, selebihnya badan dan pikiran membutuhkan istirahat.

Tenaga dan pikiran ada batasnya. Tidak dapat seluruh waktu dan kesempatannya untuk bekerja. Mencari penghidupan, meski keinginan tetap ada namun waktu membatasi semua langkah. Tidak mungkin membalikkan kesempatan, menjadikan malam sebagai siang. Hanya untuk terus bekerja dan mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan yang terus bertambah.

“Anak-anak harus belajar, apapun yang terjadi harus belajar,” Paidi menirukan Madsani ayahnya yang memberikan semangat juang untuk terus maju dan berpacu melawan waktu. Hanya satu kata yang diharapkan Madsani kepada Paidi anaknya. Menuntut ilmu yang dapat menjadi bekal mengarungi kehidupan di masa yang akan datang.

Apapun halangan hendaknya dihadapi sebagai sebuah tantangan untuk mencapai kemajuan. Tantangan sebesar apapun harus dihadapi. Bukan menghindarkan diri. Menghindar dari menyelesaikan permasalhan berarti hanya menunda menyelesaikan permasalahan yang ada. Permasalahan tidak akan hilang dari hadapan. Permasalahan, sebagai sebuah tantangan mutlak harus dihadapi. Apapun risiko yang harus dihadapi.

Paidi melayang-layang. Pikirannya jauh menerawang ke alam lain. Seperti di kehidupan yang berbeda. Tidak menapakkan kaki di mana bumi terhampar. Terbang di alam khayalan. Kehidupan yang enah di mana, kapan dan belum pernah terbayangkan sebelumnya. Asyik masyuk menyelimuti seluruh sisi kehidupannya. Harapannya bahkan dirinya bagai melayang di udara. (bersambung)