Api Cinta (72): Dalam Mimpi, Paidi Terus Berharap Bertemu Mirah

oleh -125 Dilihat
oleh

Paidi masih berkutat memikirkan Mirah yang hadir dalam mimpi-mimpinya. Selama bersama tidak banyak bercerita, terutama masalah-masalah pribadi.

Ketika itu ketiganya bersatu, bagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Namun kenyataan yang harus dihadapi tidak dapat ditolak harus berpisah. Tinggalah Paidi sendiri dengan lamunan, bayangan dan anganan. Paidi lebih banyak sendiri.

Di kantin sering mengambil tempat duduk di pojok. Jauh dari keramaian dan hingar-bingar anak yang beristirahat siang. Paidi hanya sesekali ke kantin sekolah. Terutama ketika harus pulang sore karena ada pelajaran tambahan. Sedari pagi kalau tidak membawa bekal uang, makanan menjadi bingkisan yang disantap di pojok kantin. Ibu kantin sudah maklum.

Teman-teman yang datang tidak dihiraukan. Silih berganti terus berlalu, termasuk Sri Wibowo dan Sri Wiwiho. Keramaian kantin tidak menjadikan hatinya hingar-bingar. Paidi tetap dengan kesendiriannya, meski di keramaian anak-anak yang tengah bercengkerama bahkan bersendagurau. Terlebih hatinya yang tengah galau memikirkan mimpi-mimpinya yang tidak kunjung mendapat jawaban.

Gerangan apa yang tengah terjadi dengan Mirah. Berbahagiankah, mendapatkan kedamaiankah. Setiap kali memikirkan masa depan bersama Mirah selalu saja membuat Paidi terdiam, tertunduk dan matanya berkaca-kaca. Tidak dapat berbuat banyak. Kalau sudah demikian Paidi hanya dapat merenung, meratapi nasibnya. Harapan yang mengembang di masa depan, tinggal kenangan semata. Ibarat bunga yang tengah mekar, kuncup kembali. Bunga yang tidak sempat mekar, bahkan layu sebelum bunga itu menjadi mekar.

Paidi tengkurap. Menyembunyikan diri. Tidak hendak menyaksikan dirinya sendiri. Matanya menjadi sembab, berkaca-kaca dan bahkan berlinang air mata. namun Paidi tidak hendak menangis, sebagai lelaki dirinya merasa harus kuat menghadapi segala hal. Termasuk masalah yang membelit hati dan pikirannya. Mirah teman sepermainannya yang seolah lenyap begitu saja dari hadapannya.

Seperti hendak menumpahkan segala persoalan kepada diri sendiri. Namun Paidi tidak tahu harus menyampaikan kepada siapa. Kepada biyungnya tidak mungkin, karena kesibukan sehari-hari mengurus adik-adiknya sudah menyita waktu dan perhatiannya. Madsani bapaknya juga tidak sempat memikirkan, memperhatikan bahkan sangat mungkin akan ditertawakan. Sebagai bocah ingusan yang masih harus banyak belajar tentang kehidupan.

“Belum saatnya,”

“Nanti saja kalau sudah selesai sekolah,”

“Terus kapan dapat membantu orangtuamu ini,”

“Kamu masih harus lebih banyak belajar menjalani hidup ini,”

“Bapak biyungmu ini sudah banyak makan asam garamnya kehidupan,”

Demikian jawaban yang bakal diterima ketika mengadukan masalah kepada bapak biyungnya. Jawaban yang tidak akan memuaskan hati dan pikirannya. Sangat mungkin malah akan mengharu-biru perasaan yang selama ini sudah tidak menentu. Paidi hanya terpaku, terdiam dan membisu.

Kalau sudah demikian Paidi hanya dapat meratapi diri, merenung dan berfikir banyak. Sampai lelah bahkan sampai tertidur pulas hingga esok pagi. Menjelang dini hari biasanya Paidi terjaga. Berharap-harap agar bertemu dengan Mirah, meski hanya dalam mimpi. Sudah cukup. Meski hanya bermimpi, terasa cukup sebagai pengobat rindu. Sebelum benar-benar bertemu kembali seperti masa-masa yang lalu, indah dan menyenangkan.(bersambung)