Api Cinta (81): Paidi Seperti Beo Menirukan Dendang Madsani

oleh -353 Dilihat
oleh
Yen ing tawang ono lintang cah ayu
Aku ngenteni teka mu
Marang mego ing angkoso
Sung takok-ke pawartamu
Janji janji aku eleng cah ayu
ngenteni bulan ndadari
Sumedot roso ing ati
Lintang lintang’e wingi wingi nimas
Tresna ku sundul ing ati
Ndek semono janjimu disekseni
Mego kartiko keiring roso tresno asih

Yen ing tawang ono lintang cah ayu
Rungokno tangis ing ati
Miraring swara ing ratri nimas

Madasani leyeh-leyeh setelah seharian bekerja. Sambil menunggu datangnya waktu maghrib. Madsani sengaja memutar kaset, kesukaannya tembang-tembang jawa. Kolesi kasetnya cukup banyak. Keroncong ada, campursari banyak. Tembang jawa bahkan kethoprak dan wayang kulit tersimpan di almari.

Paidi yang belum benar-benar mengetahui makna di balik tembang jawa yang didengarkan ikut menikmati. Meski syairnya tidak dipahami, namun nada dan iramanya cukup menenteramkan. Paidi turut menikmati langgam jawa yang memberikan kesejukan jiwa. Paidi seperti beo saja menirukan lagu-lagu yang didendangkan Madsani. Tidak mengetahui makna yang dikandung di dalamnya.

Madsani yang giat bekerja sejak sedari masih muda. Mulai menikmati hasilnya. Meski tidak berlebihan. Namun Madsani mampu menjalani kehidupan sebagaimana layaknya masyarakat yang tinggal di perkampungan. Dalam banyak hal Madsani menjadi pelopor. Ketika masyarakat belum melek teknologi, Madsani sudah mulai berkenalan dengan alat-alat elektronika.

Radio transistor masih merupakan barang langka di kampungnya. Ketika Bung Karno menyampaikan pidato. Bung Tomo menyiarkan retorikanya rumah Madsani banyak yang ngendhong. Banyak orang njagong, sekedar  duduk-duduk bercengkerama melepas lelas setelah seharian bekerja.

Tidak ketinggalan ketika lagu-lagu keroncong menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Rumah Madsani tidak seberapa besar dan masih berlantai tanah meski sudah memakai genteng. Pemuda-pemuda tanggung selalu bermalam minggu sambil mendengarkan pilihan pendengar. Orang-orang setengah baya lesehan setelah seharian bekerja. Tidur sore belum lazim, sedangkan menyaksikan wayang kulit masih harus menunggu merti deso.

Paidi belum menyelesaikan pendidikan dasar ketika orangtuanya kembali ke kampung halaman. Rencana pindah ke Tangkasan berantakan setelah berbagai pertimbangan didiskusikan. Padahal orangtua Madanom sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Rumah siap berdiri di lahan kosong depan rumah keluarga besar Madanom. Perabotan juga sudah disiapkan, tinggal menunggu saat-saat yang tepat perpindahan dilakukan.(bersambung)