Api Cinta (9): Hama Mulai Banyak Menyerang Tanaman

oleh -121 Dilihat
oleh
Api Cinta di Bukit Menoreh (9)
Oleh: Kangtomo Surosetiko

Permukaan air selalu sama. Di tempat yang rendah air akan memberi isi sehingga tidak ada cekungan. Sedangkan di tempat tinggi air akan terbang mengakasa sehingga mencapai puncak-puncak kehidupan. Memberikan arti kehidupan dan memberi manfaat kepada siapa saja.

 

Air akan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Menjadi tabiat air, ketika menghadapi tempat tinggi akan menghindar. Namun tidak tinggal diam, air akan mencari tempat yang rendah sambil memutar. Ketika jumlahnya menjadi banyak air akan menenggelamkan tempat yang tinggi sekalipun.

Air yang mengalir akan membawa serta apa yang dilalui.  Semua yang dilalui akan dibawa, termasuk semua bentuk kotoran. Tidak peduli air akan membawa serta.  Tidak peduli juga apakah air akan menjadi kotor, keruh bahkan bau tidak sedap.

Air dengan kekuatannya, secara bersama-sama akan berkumpul di muara. Akhirnya air akan mencapai samudera. Di sanalah letak kehidupan air yang sesungguhnya.  Air akan mengubah semuanya menjadi asin. Semua apa yang ada di dalamnya tawar diasinkan.

Seperti dikehendaki kehadiran seorang anak manusia. Menjadi manusia yang bermanfaat, memberi makna dalam kehidupan. Seberapa besar manusia memberi kepada kehidupan sesama manusia.  Manusia baru akan benar-benar menjadi manusia kalau sudah asin. Manusia benar-benar menjadi manusia manakala sudah berada di tengah-tengah sesama manusia.

Madsani menyadari betul. Kehidupan yang harus berjalan dan terus berjalan. Mengalir seperti air.  Biarlah hidup ini hadir dan mengalir. Sebuah pelajaran hidup yang didapatkan dari alam. Kearifan alam telah memberi hati bening.  Alam juga yang menjadikan kehidupan mengalir. Layaknya kehidupan yang dijalani selama ini.

Tidak banyak yang diharapkan. Apalagi hari-hari ini. Ketika Madsani tengah menunggu si jabang bayi. Anak pertamanya yang diharapkan dan dirindukan selama ini.  Tidak banyak yang diharapkan. Hanya satu yang diingini, bagaimana anaknya lahir selamat. Anak yang cantik molek, gagah tampan. Seperti gegadhangan orangtua kepada anaknya.

Seperti hari-hari biasanya. Madsani bergegas merapikan barang-barang yang harus dibawa ke ladang.  Kain pembungkus yang sudah berlobang di sana-sini, kalau tidak dibilang lusuh.  Sesekali kain itu pula yang harus dipakai bergantian untuk berbagai keperluan.  Terkadang dipakai untuk membalut badan yang mulai kedinginan, namun sering dipakai untuk membawa sejumlah barang meski tidak berharga namun tetap memberi manfaat.

Menjelang Subuh Madsani sudah harus meninggalkan kampung halamanannya. Untuk mencapai ladang yang dituju, memerlukan perjalanan sampai matahari mulai tinggi. Sama seperti kalau Madsani harus pulang ke rumah. Setelah merapikan barang-barang, berjalan menyusuri lembah dan perkampungan penduduk. Selepas waktu Isya  baru sampai di rumah.

Sepanjang malam Madsani tidak tidur pulas. Selain memikirkan perut Madanom yang terus membesar. Mendekati hari-hari akhir persalinannya. Madsani berjaga-jaga, kalau-kalau si jabang bayi ingin segera menyaksikan padhange alam raya. Namun Madsani juga tidak dapat meninggalkan begitu saja penghidupan di lading. Setelah sawah dan ladang di perkampungannya mulai mongering, penghidupannya beralih dengan menanam palawija.

Hama mulai banyak menyerang tanaman. Pertanda panen tidak berhasil seperti diharapkan. Alih-alih mendapat hasil yang cukup, panen kali ini hanya cukup dipakai untuk keperluan sehari-hari. sewa lahan yang harus dibayar, benih palawija yang harus dikembalikan dan sisa hasil yang harus dipakai memenuhi kebutuhan bersama calon bayinya. (bersambung)