Ayo ke Girigondo, Mengenang 109 Tahun Kelahiran Ki Tjokro & 191 Tahun Wafatnya Beethoven

oleh -221 Dilihat
oleh

Hari ini, 26 Maret 2018. Saya menulis, sambil mendengar Simfoni no 9 yang abadi. 26 Maret, 191 tahun lalu, penulis simfoni paling masyur itu, Ludwig van Beethoven, meninggal dalam usia 57.

        Oleh: Ki Bawang
         Penikmat Musik

Lalu, setelah mendengar komposisi panjang berlumur misteri karya Beethoven, saya ganti mat-matan dengan gending karya Pak Cokro. Atau lengkapnya, Ki Tjokrowasito ya KRT Wasitodipuro ya KRT Wasitodiningrat. Pak Cokro adalah komponis yang tak kalah top. Jika Beethoven meninggal pada 26 Maret 1827 di Wina Austria, Ki Tjokrowasito lahir di Gunungketur, Pakualaman, Jogjakarta 17 Maret 1909.

Dua-duanya, saya kagumi.  (Nek ono sik maidho, ndeneo, ayo larut bersama Beethoven dan Pak Cokro). Dulu, saya juga sering datang ke komplek pemakaman KRT Wasitodipuro di Girigondo, meski tidak jarang sekadar ingin ngisis menikmati pemandangan dari sebuah ketinggian.

Jika kebetulan bulan Maret, lalu ada hari senggang di tanggal 17, saya pasti datang ke Astana Girigondo, tempat Ki Tjokro dipusarakan. Pria yang sudah sejak usia lima tahun belajar gamelan ini, memang berhak dikebumikan di Girigondo karena bagian dari kerabat Puro Pakualaman. Terakhir, Pak Cokro juga diangkat menjadi pengeran dengan gelar Kanjeng Pangeran Haryo Notoprojo.

Begitulah Beethoven dan KPH Notoprojo. Keduanya, menghiasi bulan Maret ini, dengan cerita hidupnya masing-masing. Meski dalam skala berbeda, dua tokoh itu, juga menjadi pewarna sejarah musik dunia.

Beethoven adalah seniman jenius yang dikagumi warga dunia sepanjang masa. Simfoni no 9 menjadi puncak pencapaian karirnya. Itulah karya paling paradoks, karena justru lahir di saat pria kelahiran Bonn Jerman, Desember 1770 ini, tuli.

Selain Simfoni no 9 yang disebut-sebut sebagai karya penuh kutukan, Beethoven juga melahirkan komposisi misterius lain yang seolah mengunci rahasia cintanya. Karya itu diberi penanda Fur Elise atau untuk Elise. Dari karya Ludwig van Beethoven yang seolah memberi sayap untuk terbang ke atas mega-mega, saya anjlok untuk kemudian menyusup ke sudut batin untuk mempersiapkan diri mendengar komposisi Ki Tjokrowasito. Dalam semarak Gugur Gunung yang kaloko, ada kedalaman sumur tanpa dasar dari karya KRT Wasitodipuro itu.

Benar. Dalam karya-karya tokoh musik Puro Pakualaman itu, ada empati tinggi pada kawulo dasih. Hidupnya yang berada di lingkungan istana Pakualaman, tak membuatnya kehilangan pergaulannya dengan orang kecil.

Ki Tjokro yang kanak-kanaknya bernama Wasi Jaladara, diasuh dan dibesarkan oleh kepiawaian menggending RW Padmowinangun, yang dikenal sebagai maestro geding sekaligus pemimpin kerawitan istana. Selain dari orangtuanya, Pak Cokro juga bergaul dengan Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan yang mendirikan Pawiyatan Taman Siswa.

Setelah tumbuh di lingkungan para pengrawit dan seniman Jawa, Ki Tjokro meniti karir cemerlang sebagai empu karawitan. Lalu, ia menggantikan RW Padmowinangun sebagai pemimpin karawaitan istana.

Pada tahun 1934, dalam usia 25 tahun, KRT Wasitodiningrat menjabat direktur musik di stasiun Radio Mataramsche Vereeniging Radio Omroep (Mavro). Lalu pindah ke Radio Hosokyoku pada zaman penjajahan Jepang. Setelah Indonesia Merdeka, Pak Cokro berkarir di RRI. Sejak 1953, nama Ki Tjokrowasito sudah mendunia begitu tampil di banyak forum musik dunia dan menjadi pengajar karawitan di luar negeri.

Dan, setelah melahirkan lebih 250 gending, empu kerawitan yang lahir dengan nama Wasi Jaladara ini, menghembuskan nafas terakhir. Hari itu, usianya 104 tahun pada tanggal meninggalnya,  30 Agustus 2007. Lalu, dari kediamannya di  Wirogunan, penerima Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Joko Widodo ini, dipusarakan di Astana Girigondo, pemakaman khusus kerabat Puro Pakualaman di Kulon Progo.(*)