CAKRUK: Saat Ki Mbero Tak Kunjung Njedul

oleh -536 Dilihat
oleh

Sudah berhari-hari Cakruke komplang. Nyenyet ra ono benine. Sepanjang hari kemarin, sudah pasti karena atine podo kekes menyambut gerhana bulan total. Ngedap-edapi oleh sebab, mbulane dicaplok Betoro Kolo nganti diwenehi sebutan Bulan Purnama Berdarah. Utowo Super Blood Moon. Sehari sebelumnya, ada penggede Cakruk yang berkabung. Jadi yo wes, ikut belosungkowo dengan mengunci semua omongan yang biasanya ubrug. Semua libur ubrug.

Dan, hari ini, pagi-pagi Densus sudah nggelar dagangan. Tidak terlalu ramai, karena yang ditawarkan berat. Abot, tidak sembarang pendekar memahami. Ya biasa, ngendikan gaya abdi nagari, kan memang biasa yang berat-berat. Jadi apa boleh buat, dagangan tidak laku-laku. Pengomongannya mandeg tidak ada yang berani menawar.

Lalu, Denpur yang berinisiatif menghidupkan suasana. Pendekar yang mesangrah di tlatah Cileungsi ini, sudah langsung ibut. Teriak-teriak memanggil guru saktinya yaitu Ki Mbero. Mendengar teriakan Denpur yang tidak biasa, semua personil keluar. Denwiro yang tetangga Denpur di kawasan Cileungsi, njedul tiba-tiba.

Densus yang merasa aksi jualan ilmu luhur tidak laku, ikut teriak. Memanggil-manggil Ki Mbero. “Sajake Ki Mbero lagi kagem di kampung sebelah. Ki Mbero ki nek buka dagangan nang kampung sebelah mesti laris,” kata Densus.

Benar. Ki Mbero memang tokoh populer. Namanya kawentar di mana-mana. Jangankan di kampung sebelah, di mana-mana grup, dia ikut, dan misyuwur sebagai inisiator dan inspirator. “Jare Denpur, Ki Mbero pancen ngoten…” kata suara tanpa rupa yang semua penghunu Cakruk tahu belaka suara siapa.

Tapi begitulah. Ki Mbero adalah tokoh sakti yang tidak mudah terprovokasi. Ia punya prinsip sendiri, kalau lagi semedi, pantang terganggu, bahkan oleh cah ayu sekalipun. Makanya, meski semua memanggil-manggil namanya, tidak ada tanda-tanda, sosok mondroguno ini datang.

Densus, tokoh sakti lawan sebanding Ki Mbero saja, tak mampu membuat lawan politiknya itu unjuk diri. Akhirnya, abdi nagari yang selalu besus ini, anyel sendiri. Dengan senyum yang rasa-rasanya ngemu jengkel ia kembali bertanya, “Dodolan nang kampung sebelah laris yo Ki Mbero…” katanya lalu, berlalu.

Ya begitu. Lalu, berlalu. Langkah seribu yang diambil Densus, seperti komando untuk meninggalkan Cakruk yang kembali bisu. Hanya cat warna gading yang mulai bluwek, lipatan tikar yang tak lagi rapi, serta kentongan yang menggantung kesepian. Semua, lalu, berlalu. (kib)