Hari Ini, Mari Mengenang WR Supratman, Ibunya dari Purworejo, Ayahnya Godean

oleh -497 Dilihat
oleh

9 Maret 2018. Hari ini, mari luangkan waktu sejenak untuk mengingat kembali tokoh nasional paling dikenang. WR Supratman: pria muda yang lahir dari ibu asal Somongari dan bapak dari Godean.

Dialah komponis ajaib yang datang dari Purworejo Jawa Tengah ke pentas nasional di era pergerakan melawan penjajajahan. Lagu gubahannya menjadi lagu kebangsaan Indonesia, dinyanyikan setiap hari di sekolah-sekolah, instansi pemerintah, menjadi pembuka setiap perhelatan besar, serta penanda kebanggaaan bangsa.

Soepratman (penulisannya lebih banyak dengan EYD menjadi Supratman) adalah putra Purworejo Jawa Tengah. Tepatnya, ia  lahir Senin Wage 9 Besar 1832 atau 9 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

Ibunya, Siti Senen asli Somongari. Sedang ayahnya, Djumeno adalah serdadu KNIL dari Godean Jogjakarta. Seperti umumnya tokoh-tokoh besar, banyak jejak hidup Supratman yang misterius. Misalnya saja, ada yang menyebut ia lahir di Jatinegara, Batavia, bukan di Somongari Kaligesing Purworejo.

Tapi penulisan Batavia diralat oleh Roekiyem Soepratiyah, kakak kandung Supratman yang membawanya ke Makassar. Roekiyem yang menikah dengan pria bernama William Van Eldik, seperti dituturkan kepada penulis biografi Wage, Matumona, gengsi jika menyebut kelahiran adiknya di sebuah dusun kecil di Purworejo.

Selain soal tempat kelahiran, yang juga menjadi perdebatan adalah   tanggal kelahiran sang komponis. Bukan 9 Maret melainkan 19 Maret. Mereka yang meyakini kelahiran Supratman 19 Maret didasarkan pada keputusan  Pengadilan Negeri Purworejo 29 Maret 2007.

Tentang tanggal kelahiran 9 Maret 1903, didasarkan pada keterangan   Roekiyem. Kepada Matumona yang ditulis Oerip Soepardjo, kakak Supratman itu, ingat hari pasaran kelahiran  adiknya Senen Wage.

Tapi berbeda dengan sang kakak, di Pengadilan Negeri Purworejo, pada 1978, Amatrejo Kasum dan Martowijoyo Tepok yang dihadirkan dalam sidang menyebut kelahiran Supratman pada Kamis Wage. Mereka sangat ingat, karena Kemis Wage adalah sehari menjelang Jemuah Kliwon yang menjadi hari dihindari orang Jawa untuk beraktivitas.

Kamis Wage itulah yang kemudian ditelusuri oleh Dwi Rahardja lewat penanggalan Jawa yang cocok dengan tanggal 19 Maret 1903. Hasil penelitian Dwi yang membuat film dokumenter berjudul Saksi-saksi Hidup Kelahiran Bayi Wage ini, yang kemudian dikuatkan dengan seminar, dan akhirnya membuahkan keputusan PN Purworejo.

Begitulah jalan hidup Wage Rudolf Soepratman yang rumit. Sebuah kerumitan yang panjang, yang bahkan sudah terjadi sejak masih kanak-kanak, saat ibu kandungnya meninggal kemudian bapaknya menghilang, sehingga diasuh sang kakak. Bersama kakaknya itu pula, ia dibawa ke Makassar dan menemukan bakat bermusiknya.

Sepak-terjang Supratman di Makassar cukup fenomenal. Ia diberi tambahan nama Rudolf oleh Willem Van Eldik, kakak iparnya, agar bisa bersekolah di sekolah Belanda. Dari Van Eldik ini ia mengenal sekaligus bergaul dengan musik, hingga membentuk  band beraliran jazz bernama Black and White.

Kejeniusannya bermusik dibawa pulang ke tanah Jawa. Kembali dari Makassar, ia singgah di Jakarta dan Bandung, lalu menjadi jurnalis. Di Bandung,  ia bergabung dengan surat kabar Kaum Muda. Setelah itu, Supratman malang-melintang sebagai wartawan yang kemudian membawanya bekenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional.

Pergaulannya dengan kaum pergerakan serta kecintaannya pada bangsanya, membuat Supratman menciptakan lagu kebangsaan yang bukan tanpa risiko. Selain hidupnya merosot jauh di bandingkan dengan saat di Makassar yang dekat dengan orang-orang Belanda, hari-hari Supratman di Jakarta, penuh derita sebagai orang pergerakan yang miskin.

Puncak pencapaian Supratman sebagai pemuda pergerakan terjadi saat ia untuk pertama kalinya, memperdengarkan lagu gubahannya di Kongres Pemuda II. Lagu yang kemudian dikenal sebagai lagu kebangsaan Indonesia Raya itu ditulis pada tahun 1926 yang sudah ingin ia kumandangkan pada Kongres Pemuda I 30 April-2 Mei 1926.  Tapi ia baru berani membawakannya pada Kongres Pemuda II yang melahirkan tonggak penting bernama Sumpah Pemuda, dua tahun setelah Konggres Pemuda pertama.

Sudah sejak Kongres Pemuda II itulah, Supratman menjadi intaian polisi rahasia Belanda. Ia bahkan ditangkap dan dipenjara di Surabaya sebelum menyerah pada takdir. Supratman menghembuskan nafas terakhir tepat pada tanggal 17 Agustus tujuh tahun sebelum Indonesia yang diperjuangkan dengan darah dan airmata, menyatakan Kemerdekaannya.

Supratman yang membanggakan masyarakat Purworejo itu, meninggal pada usia sangat muda. 35 tahun. Penerima Bintang Maha Putra Utama Kelas III (tahun 1971) itu, pergi meninggalkan semangat yang tak akan pernah punah. Semangat yang terus mengalir lewat lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Untuk terus menghormati peranan Supratman, sejak 2003, negara menetapkan tanggal 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional. Maka mari, menundukan kepala, menghening cipta, mendoakan sang pahlawan.(kib)