Jumat Pon, Saatnya Sowan Panembahan Senapati (3)

oleh -109 Dilihat
oleh

Sudah menjelang azhar saat saya memasuki regol utama, yang menjadi pintu masuk pasarean ageng Kotagede. Tentulah, seperti yang lain, saya harus memakai surjan lurik pranakan. Seperti dipakai para abdi dalem juru kunci, busana Jawa itu, menandakan bahwa kita adalah kawula Mataram.

Melangkah di gapura (berwarna putih dan hitam, berbeda dengan tiga gapura sebelumnya yang berwarna merah bata), saya mengucapkan salam. Suasana sudah benar-benar lain, di sini. Kemeyan yang wanginya khas, menyeruak. Para kerabat kraton, ada komplek itu. Berjalan lurus, kemudian menikung ke kanan, sampailah di cungkup utama.

Para abdi dalem menyapa. Ada yang bertugas mengantar sambil menerangkan siapa saja yang disarekan di tempat itu. Ada pula abdi dalem, yang tak henti-hentinya duduk di muka pintu, membakar kemenyan.

Saya sudah benar-benar larut dalam suasana hati yang khusuk. Dalam sorjan lurik pranakan, jalan saya tersendak. Bukan saja oleh kain yang melilit kaki, tapi juga tidak mungkin, saya berjalan gagah di pusara para leluhur Mataram.

Seorang juru kunci yang masih muda, langsung mengarahkan untuk melipir sisi kanan. Jalan itu, menuju pusara utama, Kanjeng Panembahan Senapati. Saya langsung berjongkok, menyembah, lalu duduk dengan takjim. Hati saya terasa sudah kosong. Tidak ingat apapun, meski sebelum duduk, saya melihat di sekitar pusara utama itu, banyak peziarah yang juga duduk tertunduk dalam.

Dalam hening, saya berusaha sangat keras untuk melepaskan diri, dari segala fikiran. Saya mengosongkan, seluruh pancaindra. Hanya batin yang hendak saya tajamkan, untuk menghaturkan sembah, kepada Kanjeng Panembahan Senopati, selain izin untuk menuliskan kebesarannya sebagai pendiri Mataram.

Suasana menghangat. Bukan gerah, tapi hangat, meski cungkup itu sesak oleh 81 batu nisan mewah (semua  terbuat dari marmer). Tidak berpenerang, selain cahaya dari luar yang menerobos di kisi-kisi ruangan.

Bersama remang, saya bangun dari mengheningkan cipta. Saya menatap dengan segala kehormatan, pada pusara yang besar itu. Pusara utama Kanjeng Panembahan Senapati. Pusara yang diberi kelambu megah. Saat hendak melangkah (setelah memberi sembah) untuk memberi kesempatan peziarah lain, saya merasa seperti dilempari kanthil. Saya pungut kanthil yang berada persis di depan pusara. Lalu, beranjak.

Saya mundur, melewati pusara Kanjeng Ratu Retno Dumilah dan Kanjeng Ratu Kalinyamat,  lalu bergeser ke sisi timur. Setelah melewati sela-sela di antara kijing Pangeran Mangkunagara dan Pangeran Tepasana, saya kembali ke utara. Naik, duduk di bawah tiga pusara di ujung utara. Di sana, bersemayam Nyai Ageng Ngenis, Panembahan Djajaprana, dan Sultan Pajang.

Kembali, saya memutus seluruh aliran pancaindra. Dalam keheningan, saya memohon kepada Tuhan, untuk memberi penerang pada leluhur yang sudah sumare di Pasarean Senapaten. Terutama yang sedang saya hadap; Sultan Pajang, Penembahan Djajaprana, dan Nyi Ageng Nis.

Tidak lama, saya turun, setelah menghaturkan sembah. Mundur lagi, saya duduk di dekat kijing Ki Ageng Jurumertani (tentang semadi saya di pusara Ki Juru, akan saya kisahkan lebih panjang, pada tulisan tentang sahabat Ki Pemanahan ini). Posisi makam penasehat Jaka Tingkir itu, sederet dengan Ki Ageng Pemanahan, Nyai Ageng Pemanahan, serta Nyai Ageng Pati. Tokoh-tokoh sakti itulah, yang mendampingi Panembahan Senapati membesarkan Mataram.(bersambung)