Jumat Pon, Saatnya Sowan Panembahan Senapati (11)

oleh -247 Dilihat
oleh

Kotageda yang didirikan tahun 1575 oleh Panembahan Senopati, memang meninggakan banyak tapak sejarah. Juga segala yang bersifat mistik. Di antara yang masih sangat kondang adalah Watu (batu) Gilang serta Watu Gatheng. Lokasinya kira-kira 1 km di sebelah selatan pasar. Untuk mencapainya, hanya perlu menyusuri jalan sisi barat, atau sekitar 300 m di selatan makam.

Begitu melewati kompleks makam raja-raja Mataram, sampailah di masjid Agung Kotagede. Lalu, terlihat bangunan yang berdiri di tengah jalan. Yang menarik, karena sudah terasa aura mistiknya, bangunan ini dikelilingi pohon-pohon beringin. Tapi yang mencolok, pohon Mentaok rindang yang memberikan hawa sejuk.

Banyak peninggalan bersejarah disimpan di tempat ini. Juga Watu Gatheng dan Watu Genthong. Sebuah batu yang amat keramat. Watu Gilang merupakan batu hitam berbentuk persegi, berukuran 2 m di setiap sisinya, tingginya 30 cm dan terletak di sebuah ruangan yang sengaja dibuat untuk untuk melindungi batu ini.

Masyarakat mengenal luas benda-benda bertuah ini. Batu tersebut dipercaya dulunya merupakan dampar atau singgasana Panembahan Senopati. Dulu tempat berukuran 3×3 m ini dipercaya terletak di tengah pelataran yang dulunya berupa keraton.

Semula, situs ini berada pada ruang terbuka, namun untuk melindungi situs ini dibangunlah suatu bangunan yang melindungi situs ini pada tahun 1934 atas perintah Hamengkubuwana VIII.

Sisi timur batu ini terdapat kikisan seperti bekas bekas pukulan sesuatu. Dulu batu ini terletak di Pendopo, tapi peninggalan Pendopo sudah tidak ada lagi sejak runtuhnya kerajaan.

Ada pahatan-pahatan atau tulisan dalam beberapa bahasa yang sudah tidak dapat terbaca lagi karena sudah terkikis. Tulisan ini konon berisi tentang keluh kesah dan kepasrahan terhadap nasib.

Panembahan Senopati mendapat wangsit melalui Lintang Johar. Batu andesit hitam ini dibawa dari hutan Lipuro yang kini dikenal dengan daerah Bambanglipuro, Kabupaten Bantul. Di atas singgasana batu inilah Kerajaan Mataram digerakkan oleh Panembahan Senopati.

Sebagai benda keramat, orang tidak hanya ingin melihatnya secara langsung melainkan mencari berkah. Mereka menjalankan lelaku atau ritual. Ada juga yang ingin hajatnya terkabul misalnya naik pangkat, sekolahnya lancar dan rejekinya bertambah.

Lihatlah dengan seksama. Sisi timur batu ini, mblesek atau mencekung. Konon itu, akibat benturan yang amat keras. Panembahan Senapati yang melakukannya. Dan, orang yang dibenturkan bukan tokoh sembarangan. Melainkan kepala Ki Ageng Mangir yang sakti.

Mangir merupakan musuh dari Panembahan Senopati.  Bahkan, untuk menaklukkannya, Panembahan Senopati menipu Mangir dengan cara mengirim anak perempuannya yang jelita. Inilah taktik yang diusulkan Ki Juru Mertani.

Apus Krama atau tipudaya ini adalah cara mengirimkan Roro Pembayun, yang tak lainputeri Panembahan Senopati sendiri. Sang putri berpura-pura menjadi penari tayub untuk memikat Ki Ageng Mangir.

Ki Ageng Mangir tertarik dan menikahi Puteri Pembayun. Lalu, mereka menghadap ke Senopati. Mangir juga harus menghormat pada mertuanya yang tidak lain adalah musuhnya.

Sampai di Keraton Kotagede, pengawal melarang Ki Mangir masuk karena masih membawa senjata (tombak ki baru klinthing). Atas dasar etika kerajaan yang melarang membawa senjata bila menghadap raja, maka Ki Mangir meletakkan senjatanya dan menghadap mertuanya untuk meminta restu.

Nah, ketika Ki Ageng Mangir sungkem inilah ia kemudian dibunuh oleh dengan membenturkan kepalanya ke singgasana Watu Gilang hingga ia tewas seketika.

Kini, makam Ki Ageng Mangir bisa ditemui di Kompleks Makam Kotagede yang memiliki keunikan tersendiri. Makam Ki Ageng Mangir sebagian berada di dalam benteng makam, sedangkan sebagian lainnya berada di luar benteng. Ini terjadi karena Ki Ageng mangir yang dianggap musuh dalam selimut Kerajaan Mataram.

Sementara Roro Pembayun  setelah meninggal malah tidak dimakamkan di makam Kotagede. Menurut cerita, sejak meninggalnya Mangir, Roro Pembayun kemudian dititipkan pada Ki Ageng Karanglo dan dimakamkan di Karangturi, 2 km sebelah timur Kotagede.(bersambung)