Malam ini rasanya akan sangat menyenangkan. Setelah menyaksikan keindahan matahari terbenam, saya, Dita dan Heroe serta mas Olis berniat untuk mencoba bakmi Pandawa di daerah Kenteng, Nanggulan.
Kata Heroe, iini merupakan bakmi ala Semarangan. Ya, disebut bakmi Semarang karena bedanya dengan bakmi Jawa yang biasa kita temui di Jogya atau Solo yaitu ada campuran kekiyan (tepung goreng yang kenyal dengan rasa gurih) dalam sajiannya. Juga, ada lauk tambahan lainnya berupa sate ayam dan hati/ampela serta uritan yang diungkep dengan rasa yang sedikit manis.
Setelah menunggu dengan sabar, pesanan datang. Saya menghitung, harus menyediakan waktu 35 menit untuk bisa menikmati mie godog dan bihun goreng tersaji di meja. Saya tahu, dari aroma harum bawang yang mampir di hidung, ada selera yang segera tergugah. Jadi, seperti bersepakat, kami melahapnya selagi panas.
Perut kenyang, hati senang, fikiran tenang. Saatnya, menikmati api unggun di rumah sanggar Mahening Budhi di Kedung Gupit. Membuat api unggun di halaman rumah, sambil menikmati sejuknya udara malam, akan menjadi bekal membahagiakan sebelum esok hari kembali ke Jakarta.
Mendekati jam 8 malam, api unggun jadi. Bertiga, kami mencari tempat duduk di sekitar api untuk menghangatkan tubuh. Saya tersenyum, memlihat titik api yang membawa ingatan ke masa lalu saat menjadi pramuka yang sedang berkemah.
Ah, ternyata uap panas yang dihasilkan api unggun lumayan juga untuk terapi pinggang sehingga lebih nyaman. Karena lokasi sanggar di Kedung Gupit lebih tinggi, maka hawanya lebih dingin sehingga saat ini sedang dibangun rumah kecil yang dilengkapi dengan tungku untuk menyalakan api unggun saat dingin.
Nanti bila sudah jadi, rencananya akan diberi nama Rumah Tungku karena memiliki tungku di dalamnya atau Rumah Sunset karena saat senja langsung terlihat matahari terbenam dari jendela kamar. Setelah puas mengobrol di depan api unggun seraya menghangatkan badan, kami segera kembali ke rumah Balong untuk istirahat.
Pagi hari saya dan Dita sudah bersiap diri kembali ke Jakarta, sementara Heroe tetap tinggal di Samigaluh karena masih ada yang akan dikerjakan. Kali ini kami akan pulang melalui Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) di Kulon Progo.
Sengaja kami berangkat lebih awal karena lagi-lagi ingin menikmati wisata yang ada di sekitar Kulon Progo. Pilihannya adalah Pantai Glagah yang tidak terlalu jauh dari bandara. Perjalanan dari Samigaluh menuju bandara di daerah Temon tidak terlau jauh. Hanya 75 menit.
Waktu satu jam lebih itu, tidak terasa karena perjalanan melewati persawahan yang dipenuhi burung Kuntul sawah atau Blekok putih yang sedang mencari makanan. Apalagi nyaris semua jalanan mulus beraspal.
Tidak terasa, Glagah Indah sudah menyambut kedatangan kami. Begitu memasuki area parkir, tercium harum makanan laut yang berasal dari warung warung yang berada di sepanjang jalan masuk ke pantai Glagah.
Sambil jalan menuju pantai, kami melihat-lihat aneka makanan laut yang dijual. Ternyata menarik juga karena ada rumput laut, udang, undur undur laut yang bentuknya seperti anakan kepiting yang digoreng crispy dengan sedikit tepung.
Setelah mencicipi, baru tahu, rasanya tak kalah enak dengan masakan laut di kota-kota di Jakarta. Jadi, kami membeli beberapa makanan untuk dibawa pulang. Setelah menitip belanjaan, kami segera melanjutkan langkah menuju pantai Glagah yang berpasir hitam.
Sepanjang jalan setapak yang mengarah ke laut, terlihat tumpukan tetrapod beton yang berserakan di sekitar dermaga. Tetrapod beton sengaja dipasang sebagai pelindung pantai dari ancaman kerusakan (erosi) yang disebabkan oleh gelombang air laut.
Saya agak kagum. Hempasan air laut yang menghantam tetrapod menghasilkan deburan ombak yang cantik. Rupanya di tempat ini, foto-foto cantik yang banyak bereda di sosmed bertebaran. Saya ikut berfoto. Lumayan buat koleksi.
Ternyata perjalanan belum berakhir karena masih ada tempat yang menarik untuk dikunjungi di sepanjang jalan menuju bandara. Benar. Saya melihat taman bunga mini yang sengaja dibuat untuk berswa foto. Hanya dengan membayar 5 ribu, pengunjung bebas mendapatkan foto menawan untuk sosmed.
Meski harus serba cepat, saya ikut berfoto. Itu yang membuat waktu memburu, sampai-sampai tak terasa hari makin siang dan waktu keberangkatan makin dekat. Kami harus segera bergegas menuju bandara. Tak sampai 15 menit, bandara kebanggaan warga Kulon Progo telah terlihat dengan megahnya meskipun pembangunannya belum semuanya selesai.
Setelah mengurus tiket, segera kami memasuki ruang tunggu yang terasa lapang karena masih sepinya penumpang. Dari ruang tunggu terlihat pesawat yang akan kami tumpangi telah mendarat. Namun tak terlihat adanya penumpang yang menunggu bersama kami di gate 3.
Rupanya, penumpang hari itu hanya 11, jadi terasa sepi. Mungkin karena hari kerja sehingga hanya sedikit yang menuju Jakarta. Kami melangkah, membayangkan Jakarta menanti dengan segala kesibukannya.
Dari jendela pesawat, saya sekali melihat ke luara. Tampak Laguna yang menambah keindahan pantai Glagah dari ketinggian seakan meminta untuk dikunjungi lagi suatu saat nanti.(*)