Ki Kebo Kanigoro-3: Aura Darah Biru yang Terus Memancar

oleh -258 Dilihat
oleh

Seperti dicatat dalam sejarah, Majapahit memang telah mengalami senjakala pada abad 15 Masehi. Sirna Ilang Kertaning Bumi menjadi titi mangsa yang selalu diingat sebagai hilang dan sirnanya kerajaan besar ditelan bumi.

Majapahit yang didukung oleh kekuatan kepercayaan lama, telah digantikan oleh cahaya Islam yang berpendaran dari Glagahwangi, tempat Kerajaan Demak Bintara berdiri.  Kekuatan orang-orang Islam, yang kedatangannya disambut terbuka di Majapahit, telah menggeser keyakinan lampau yang terus ditinggalkan pengikutnya.

Kekuatan itulah yang kemudian menggerakan Raden Fatah, yang tak lain adalah putera Prabu Brawijaya V dengan  istrinya yang bernama Retno Subanci asal Kerajaan Campa, mengambil alih kekuasaan.

Dan, sebagai pewaris trah Majapahit, Ki Ageng Kebo Kanigoro bukan tidak ikut berusaha mempertahankan keberadaan   Majapahit. Tapi gelombang kekutan Raden Patah dan Demak, seolah didukung oleh sejarah. Bergulungan, tak terbendung. Demak, pada akhirnya memang menandai berakhirnya Majapahit.

Dalam konteks yang lain, pembelotan Kanigara diikuti oleh Kebo Kenanga yang telah menjadi Ki Ageng Pengging. Setidaknya, Pengging tak hendak tunduk pada Demak. Penerus Adipati Andayaningrat ini memilih berpaling pada Syeikh Siti Jenar, daripada dominasi Walisongo yang menyokong  Demak.

Ki Ageng Kebo Kanigoro adalah sosok kesatria Majapahit yang  risau melihat gelombang kekuatan Demak yang dibarengi dengan penaklukan politik dan perluasan wilayah kekuasaan. Jadilah, secara diam-diam, Kanigoro  menjadi simbol perlawanan terhadap Demak. Ia enggak takluk  pada Sultan, apalagi trahnya lebih kuat dibandingkan Raden Fatah.

Dalam pada itu, Fatah yang sedang berjaya, bukan tidak sadar ada kekuatan yang dibawa Ki Ageng Kebo Kanigara, meski ia telah menjadi seorang pertapa. Posisi Kanigara sebagai cucu Brawijaya jelas mengancam. Ini yang menjadi alasan untuk menyingkirkan pengaruhnya

Bagi Ki Ageng Kebo Kanigoro, yang kekuatan politiknya kalah, memilih menghilang.  Maka jadilah ia menetap di Selo, untuk menghindari pasukan Demak. Dan di sini pula ia meninggal dunia. Setidaknya itu keyakinan sementara kalangan.

Petilasan Ki Ageng  Kebo Kanigara, tidak dapat lepas dari sejarah Kerajaan Pengging dan Umbul Pengging, Banyudono. Semua berawal dari pertemuan Ki Kebo Kanonggo dan Rangga Tohjoyo. Mereka murid Syeh Siti Jenar yang sama-sama diburu bala tentara Demak. Lalu, keduanya  bersembunyi di  lereng Merapi. Di tempat  itu,  persinggahan dibuat dengan nyaman.

Tapi dasar orang sakti yang memiliki darah biru, aura di Ageng Kebo Kanigara selalu memancar. Meski di tempat terpencil, banyak yang kemudian menjadi pengikutnya.

Ditempat persembunyian itu, mereka membuat gundukan tanah yang digunakan sebagai tempat bersemedi. Selain itu, dari gundukan tanah itu juga dialirkan air dari lereng Merapi untuk para warga di sekitar tempat singgah itu.

Setelah air keluar dari gundukan tanah itu, kemudian aliran air ditutup dengan pusaka yang ampuh dan hingga saat ini gundukan itu masih dan digunakan sebagai tempat bersemedi bagi orang-orang yang masih mempercayainya.

Selain itu, di sekitar lokasi itu, juga didirikan rumah kecil yang digunakan warga untuk ngalap berkah. Akhirnya warga setempat memberi nama Petilasan Kiai Kebo Kanigoro.(*)