Kresna Tiwikrama & Aroma Barathayuda

oleh -254 Dilihat
oleh

Astina disaput angin dingin senja itu. Hiruk-pikuk sesiang tadi, telah mengendap, menjadi gunjingan. Telik sandi menyebut Pandawa siap mengambi alih kekuasaan Suyudana sebagai Raja Astinapura.

Dan, benar. Pagi berikutnya, datang Sri Kresna, Raja Duwarawati, penopang spirit Pandawa. Duryudana yang sedang bersidang terperanjat. Durna kalang-kabut. Sengkuni celingusan. Hanya Baladewa dan Adipati Karna yang duduk tenang.

“Dimas Suyudana, kedatanganku adalah langkah yang sudah menjadi kepastian dewata. Aku menjadi utusan adik-adikmu para Pandawa. Tujuannya barangkali adimas juga sudah tahu, mengambil kembali Astina yang dititipkan Paman Salya,” Kresna menata kalimat dengan baik, meski Durna terlihat mencibir dari balik wajahnya yang menunduk.

Suasana tiba-tiba menegang. Panas menyusup, seolah mengusir udara, sehingga nafas tersengal. Kresna menanti. Suyudana memerah wajahnya.

“Angger Kresna, lupakan sejenak soal ini. Mari kita nikmati hidangan yang sudah disiapkan juru masak terbaik istana.” Pandita Durna mengambil alih kendali setelah melihat Jakapitana ya Duryudana ya Suyudana terkunci bibirnya.

Kresna menarik nafas, tapi tak bisa menolak. Ia mengikuti langkah tuan rumah menuju sasana bujana. Ia kaget, ternyata semua sudah tersaji rapi. Semua jenis makanan tersedia.

“Silakan cicipi minuman khas Astina angger Kresna. Ini terbuat dari gula aren yang ditanam khusus.” Kresna mengambil sloki dan meminumnya. Tapi seketika, ia merasakan tuba yang menyengat. Seketika pula tubuhnya membuat perisai.

Andai bukan Kresna tentu akan tumbang dalam satu detik setelah minum aren yang dicampur jenu jamurdipa. Dasar satria utama kekasih para dewa, Kresna bertahan. Sebaliknya, kekuatan dalam tubuhnya mendorong inti diri. Kemurkaan yang tertahan justru membuat kekuatan tersembunyi muncul. Jadilah Kresna berubah wujud sebagai balasrewu. Kresna tiwikrama.

Begitulah lakon Kresna Duta dalam pewayangan yang menjadi awal dari peristiwa besar Baratayuda Jayabinangun. Sebab, Kresna gagal mengambil kembali Astina, setelah Kurawa memilih pasang badan dengan perang sebagai jawaban.

Ini memang politik tingkat tinggi. Kresna adalah kekuatan tak tertandingi. Kresna tak lain merupakan titisan Wisnu, dewata agung panjaga harmoni. Dua fakta itu saja, sudah amat jelas, Kresna di atas apapun; ya sakti, ya bijak, ya menentukan, tapi juga ya amat culika untuk memenangkan Baratayuda.

Namun siapapun yang pantas disebut Pandawa atau Kurawa, Baratayuda adalah niscaya. Sebuah perang besar, penuh darah, bertabur luka, berhias tangis dan airmata. Inilah, yang dalam terminologi Jawa, disebut fase sesuci untuk menentukan benar-salah, satria-durjana.(*)