Api Cinta (8): Makan kenyang saja sudah menjadi kebahagiaan

oleh -110 Dilihat
oleh
Api Cinta di Bukit Menoreh (8)
Oleh: Kangtomo Surosetiko

“Larang sandang, larang pangan,” demikian masyarakat memberi julukan kehidupan yang tengah berlangsung hari-hari ini. Untuk itu menata kehidupan menjadi lebih penting. Agar anak-anak di masa depan tidak menemukan lagi kehidupan yang serba sengsara.

 

Kebutuhan gizi masyarakat memang tidak dapat  terpenuhi. Masyarakat menjadi mudah sakit. Kondisi masyarakat yang serba sulit mengakibatkan lingkungan tidak terpelihara. Jangankan untuk membersihkan lingkungan,  rumah lengkap dengan perabotannya tidak terurus. Kebutuhan sandang dan papan menjadi terabaikan, masyarakat lebih mementingkan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Untuk memenuhi kebutuhan kalori dari karbohidrat saja masyarakat mengalami kesulitan. Gizi bagi masyarakat menjadi kebutuhan sangat mewah, apalagi memenuhi tuntutan yang dipersyaratkan kesehatan. Memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari berupa nasi dan lauk-pauk lengkap sudah sangat bersyukur.

“Makan kenyang saja sudah menjadi kebahagiaan,” Madsani menerawang sambil berharap agar anak-anaknya tidak sampai mengalami masa-masa sulit seperti pernah terjadi saat ini. Menemuikan nasi cukup saja sangat jarang, sering makan nasi harus dicampur dengan bahan makanan pokok lain agar terasa kenyang.

Suweg, ngganyong, nggarut bahkan bonggol batang pisang sering menjadi santapan keluarga. Makanan-makanan yang diambil dari ladang menjadi menu harian, sebagian masyarakat bahkan mengonsumsi bekicot, keong racun dan sejenisnya.

Zaman memang tidak normal. Masyarakat merindukan kembali kehidupan seperti di zaman normal. Masyarakat mengetahui kesehatan menjadi sangat mahal, namun masyarakat tidak mempunyai pilihan lain kecuali makan seadanya. Masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan harian secara baik, namun tuntutan perut tidak dapat ditolak.

Perang kemerdekaan memang sudah lama berlalu, namun akibatnya masih sangat terasa. Masyarakat menghadapi berbagai kesulitan hidup, masyarakat tidak dapat memenuhi derajat kesehatan yang baik. Masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi. Masyarakat juga tidak dapat berobat ketika sakit menyerang.

Masyarakat masih bersyukur, karena masyarakat masih memiliki bahan-bahan ramuan tradisional. Masyarakat masih dapat memiliki alternatif penyembuhan, meski tingkat kesembuhannya sangat terbatas. Namun semua menjadi pilihan kolektif masyarakat ketika tidak ada pilihan lain lagi.

Dalam suasana demikian Madsani mengawali kehidupan keluarganya. Alih-alih menata kehidupan yang lebih baik, untuk menjalani kehidupan normal saja sungguh sangat sulit. Namun kehidupan harus terus berjalan, tetap bergulir sebagaimana mengalirnya air.

Air kehidupan harus berjalan sesuai dinamikanya sendiri. Manusia dengan dunianya sendiri. Hanyalah manusia-manusia yang mampu menjalani kehidupan layaknya air mengalir akan mampu mencair, ajur-ajer. Kehidupan yang alamiah dan tidak dibuat-buat, kehidupan apa adanya. Sebuah kehidupan yang diwarnai dengan warna-warni. Ada merah, ada putih, jingga, biru, nila dan ungu. Ada juga warna hitam bahkan warna yang tidak jelas benar jatidirinya yakni abu-abu.

Hadir dan mengalir.  Madsani ingin menjalani kehidupannya sebagaimana air yang mengalir. Terus mengalir dan tidak pernah berhenti mengalir. Apapun yang terjadi biarlah terjadi. Air akan tetap mengalir sebagaimana kehadirannya dalam kehidupan alam raya ini.

Air selalu memberikan kesamaan,  menjadikan kehidupan yang sederajat. Tidak ada ningrat. Tidak ada darah biru. Tidak ada kelas masyarakat kebanyakan. Semua manusia hakikatnya sama. Hanya satu yang membedakan adalah pengabdian kepada masyarakat. Lebih tinggi lagi seberapa besar manusia memberi manfaat kepada kehidupan baik diri, keluarga maupun lingkungannya. (bersambung)