Mbah Amat Melarang Ki Bawang Protes

oleh -399 Dilihat
oleh

“Ini soal pendapat pribadi, Ki Bawang!”  ujug-ujug Mbah Amat menyampaikan kata-katanya langsung dihadapan Ki Bawang.

“Sampeyan itu terlalu egois, mementingkan diri sendiri, mementingkan kepentingan pribadi, selalu mengobsesikan pikiran pribadi, cita-cita pribadi. Lha bagaimana tidak to ide membuat padepokan ini kan ide sampeyan, lho kok saya disuruh sambatan setiap hari, kepentinganku apa to? Jadi jangan salahkan yang berpendapat bahwa padepokan ini hanya untuk kepentingan pribadi,” lanjut Mbah Amat.

“Ini begini, mbah.“ Ki Bawang mencoba menjelaskan.

“Aku mendirikan padepokan Jombokarto ini untuk kepentingan masyarakat, sebagai wadah silaturahmi masyarakat, sebagai wadah berekpresi.”

“Lho yang punya ide siapa to? Sekarang padepokan sudah berdiri, tapi kok yang sowan ke sini kok saya terus, jadi secara tidak langsung konsep sampeyan membuat padepokan gagal…”

“Lho.. ini kan baru mulai, baru merintis, baru babat alas, perlu sosialisasi kepada masyarakat kita, jadi ya masih ngrekoso, terseok-seok, “ terang Ki Bawang

“Dari pendapat saya panjenengan itu terlalu emosi, terlalu ambisi, terlalu berharap, terlalu butuh wadah berekspresi terahdap kepentingan sampyan sendiri..”

“Sebenarnya….” Ki Bawang mencoba menjelaskan, namun sudah terlanjur dipotong oleh Mbah Amat.

“Sampeyan tidak perlu menjelaskan, tidak perlu protes, tidak perlu njlentrehke macem-macem, harusnya sampeyan memahami pendapat saya, memahami pendapat masyarakat Jombokarto, bukan malah memaksa orang lain paham ide-ide sampeyan.

“ Yo wis,” jawab Ki Bawang, kemudian diam. Sementara mbah Amat masih melanjutkan kata-katanya

“Ning yo apik, soal gawe padepokan saya setuju.  Gimana kalau Ki Bawang mbangun rumah Joglo khas Jawa, lalu diisi dengan seperangkat gamelan, slendro, pelok,  njur ngundang guru untuk nglatih anak-anak Jombokert nabuh gamelan, nglatih anak-anak njoget gambyong, nglatih nembang mocopat, membuat geguritan, membuat lagu jawa sesuai pakem. Pocung, Gambuh, Dhandanggulo, sinom, durmo, maskumambang, pankur dan seterusnya. Lalu dipasangi layar geber, lalu diyasani satu kotak wayang, lalu anak anak sekitar padepokan dilatih ndalang, gending dan seni seni jawa lainnya. Lalu kita berdua duduk-duduk di sini. Sambil wedangan, terus menyaksikan, nyawang anak-anak muda pada gladen, terus suatu saat kita pentaskan pas acara merti dusun.  Rak yo apik to, Ki Bawang?”

“Haiyo.. apik. Tapi siapa yang harus membiayai semua itu” tanya Ki Bawang.

Lha yo sampeyan to Ki Bawang, kan sampeyan investor, konglomerat kampung, pemodal dan pengembang dari kampung kita. Ya harusnya segera merealisasikan ide-ide tersebut..”

“Idenya sampeyan apik, tapi saya kurang tertarik..” jawab Ki Bawang.

Ki Amat diam, ia sudah tahu Ki Bawang akan menolak ide-idenya. Ia sudah hafal betul. Sebab Ki Bawang akan hanya merealisasikan ide-ide yang digagasnya sendiri. Akan memperjuangkan idenya sendiri. Kalau ide yang datang dari Mbah Amat tentu tidak akan disetujui. Namun bagi Mbah Amat sudah lega, karena sudah menyampaikan keinginannya dan sudah didengarkan oleh Ki Bawang

Kemudian keduanya terdiam dalam lamunanya sendiri sendiri. Dalam lamunan Mbah Amat terbayangkan duduk berdua dengan Ki Bawang, sambil wedangan, menyaksikan anak-anak sekitar padepokan nabuh gamelan pelajar pertama adalah nabuh “sampak”.  (stmj)