Merindukan Yudhistira dalam Pilpres

oleh -183 Dilihat
oleh

Baratayudha sudaha dimulai. Kurusetra, palagan perang antara Pandawa dan Kurawa, bosah-baseh. Berantakan, penuh puing bekas pertempuran. Ada bangkai gajah, tulang jaran, rongsokan pedang, patahan kereta perang. Mengerikan. Juga, membuat ngenas.

Oleh: Ki Bawang
Dalang tanpa Wayang

Hari itu, Prabu Salya maju sebagai senapati Kurawa. Ia adalah pemilik kesaktian paling ditakuti semua senapati. Jangankan Kurawa atau Pandawa. Sedangkan, begawan Bagaspati yang mahasakti mampu diperdaya. Ia pemilik ajian candrabirawa yang menggiriskan. Salya atau di masa muda dikenal sebagai sang Narasama, tentu saja, tak bisa ditandingi oleh siapapun di seluruh Amartapura. Ini yang membuat Pandawa ciut nyalinya.

Tapi tidak. Salya adalah dilema yang tragis. Hidupnya berada di antara dua cinta yang terbelah. Pembelaannya pada Kurawa, setengah hati. Sementara dukungannya untuk Pandawa juga tidak sepenuhnya. Sebab, Salya adalah mertua tiga tokoh utama Astina: Prabu Duryudana, Adipati Karno, serta Prabu Baladewa.

Di kalangan para Pandawa, Salya juga bukan orang asing. Ia adalah kakak kandung Dewi Madrim, istri kedua Pandu Dewanata, orangtua para ksatria Pandawa. Putra Madrim dan Pandu, adalah si kembar Nakula-Sadewa. Kepada dua kemenakannya itulah, Salya memberikan cintanya yang amata besar.

Dan, kepada Nakula-Sadewa, ia menitipkan sisa hidupnya. Hidup yang dipertaruhkan di palagan Kurukasetra. Ia akan menemui ajal di tengah perang besar Kurawa-Pandawa. Ia sadar, garis hidup tak bisa ditawar, bahkan oleh kesaktiannya yang pilih tanding.

Begitulah. Salya justru binasa oleh kesaktiannya sendiri. Ia tak mampu berbuat banyak karena Pandawa memajukan Yudhistira sebagai panglima perang. Siapa saja tahu, Yudhistira ya Puntadewa ya Bambang Wijangkangka adalah ksatria berdarah putih yang tak mungkin menyakiti siapapun.

Kepada Yudhistira inilah, segala kesaktian Prabu Salya lumpuh. Kepada ksatria yang secara tulus tak melawannya di medan perang, Salya mengaku kalah. Puncak kesaktian aji Candrabirawa, justru memukul dirinya hingga perjaya.

Lakon Baratayuda episode Salya Gugur ini menarik. Penuh perlambang, penuh ajaran budi baik. Kesaktian tak selamanya mampu menyelamatkan hidup. Tidak jarang, justru kematian yang mampu menyelamatkan jiwa seorang ksatria.

Saya menulis lakon ini, sambil berharap, Pilkada Serentak dan kemudian Pilpres nanti yang bagai perang di tegal Kurusetra, malahirkan pemimpin sekelas Yudhistira. Kesatria yang justru rela mati demi lawannya. Bukan sebaliknya, rela melakukan apa saja termasuk fitnah dan kejahata lain demi kemenangannya sendiri. Mungkinkah? Semogalah.(*)