Renungan Akhir Tahun

oleh -637 Dilihat
oleh
                      Catatan Akhir Tahun Oleh:
                           Meidi Gunawan

Jombokan bangun seperti biasa: pagi bersama matahari terbit, kabut tipis pergi diterbangkan angin, dedaunan masih sama berwana hijau, aroma tanah yang baru disiram  gerimis, serta bau kandang yang menyapu hidung.

Semua masih sama. Suasana yang seperti itu-itu juga, selamaa berpuluh tahun, setidaknya seusia saya hingga lebih 30 tahun. Tidak ada yang berubah. Juga, rasa-rasanya diri saya yang masih begini-begini saja.

Tapi ternyata ada yang berubah, tanpa kita pernah sadar. Perubahan usia yang terus menua. Termasuk bapak-simbok kita yang bertambah renta. Itu, baru saya sadari saat melihat simbok berjalan dengan bantuan sepotong kursi plastik yang didorong dari belakang, sekadar untuk menopang keseimbangan agar tidak jatuh.

Dalam sedetik, ati mak deg. Duh, sudah setua itu simbok saya yang perasaan belum terlalu lama menuntun saya ke Pasar Jombokan. Genggaman tanganya erat sejak dari rumah hingga sampai rumah lagi, meski saya terus berusaha meronta karena di tangan sudah cenil dan bubur sumsum yang terpaksa simbok beli karena saya merengek sepanjang berada di dalam pasar.

Benar. Rasanya semua itu belum lama terjadi. Masih jelas wewayangannya di mata. Tapi simbok sudah begitu tua. Tubuhnya memang tidak susut, subur segitu-gitu sejak dulu. Tapi fisiknya, jelas tak memadahi untuk menopang bobot tubuhnya.

Dari semua yang berubah lemah pada simbok, hanya satu yang langgeng yaitu doa-doanya untuk anak dan cucu. Semangat sekali setiap kali membicarakan enam anak-anaknya yang tak satu pun, bisa pulang menemaninya.

Semangat itu pula yang kemudian menumbuhkan tekad untuk menemaninya sampai akhir. Ya, saya memutuskan untuk selalu berada di dekat mereka. Bapak yang pendengarannya sudah sudo dan simbok yang jalannya tertatih, rasanya pantas mendapatkan bakti saya. Bakti kecil yang semestinya saya lakukan yang tak sebanding dengan pengorbanan mereka, melahirkan, mengasuh, hingga membesarkan saya.

Sebagai orangtua Jawa, seperti orangtua-orangtua lain, bapak-simbok mungkin masih merasa mampu, kuat, dan tidak membutuhkan bantuan anak-anaknya. Teman-teman sebaya  bapak-simbok yang masih sugeng di Jombokan, juga bersikap seperti itu. Worus, wetan ngomah, mbokmie belakang rumah, mbokcitro di ujung timur, atau bapak-simbok yang agak jauh dari rumah di tlatah Jombokarto lain, semua sama: masih merasa mampu berbuat sesuatu untuk anak-anak dan cucu-cucunya.

Tapi tidak. Saya melibat betul, semua itu hanya berupa semangat dan dedikasi, sebab faktanya mereka tak lagi mampu, bahkan menolong dirinya sendiri jika terjadi sesuatu. Maka saya berjanji untuk menolong mereka, mulai hari ini, 31 Desember, sebelum 2018 datang, esok hari.(*)