Sewu Tumini untuk Pak Direktur

oleh -804 Dilihat
oleh

Ini tentang Tumini. Sesuatu yang baru, paling tidak buat saya yang belum pernah  mendengar ada nama Tumini. Tapi ini bukan nama orang melainkan sebutan untuk tumpeng ukuran munggil. Selain baru mendengar ada Tumini, yang membuat kaget adalah jumlah sewu atau seribu. Sudah pasti pesanan sewu Tumini harus dikebut dalam semalam yang saya bayangkan seperti Bandung Bondowoso ngebut membuat seribu candi, sebelum pagi menghampiri.

Kisahnya terjadi  bulan November 2018 lalu. Saya dihubungi Mbak Tien yang menceritakan bahwa di minggu ketiga Desember 2018 akan menyelenggarakan selamatan nyewu Simbok Tadjuk. Nyewu sendiri memiliki arti sakral, sebagai peringatan seribu hari leluhur yang sudah sedho.  Dalam tradisi Jawa, nyewu adalah rangkaian memperingati meninggalnya seseorang setelah rangkaian peringatan 3 hari, 7 hari 40 hari, 100 hari dan yang terakhir 1000 hari.

Mbak Tien menghubungi saya untuk bertanya apakah di Jogja ada yang bisa menyediakan tumpeng. Spontan saya jawab banyak, karena ya memang banyak yang bisa menerima orderan membuat tumpeng. Wong ya di Jogja itu, setiap hajatan keraton juga selalu ada tumpeng. Namun ceritanya agak berbeda ketika Mbak Tien mengatakan bahwa tumpeng yang ini agak lain. Mbak Tien diminta oleh sang adik, yang kebetulan seorang direktur di BPJS Ketenagakerjaan yang juga teman satu kelas ketika klas 1 di SMA N 1 Wates.

Benar. Saya dibuat kaget saat mendengar jumlahnya. Sewu. Sewu tumpeng. Jumlah yang kolosal. Lalu lebih kaget lagi saat mendengar tumpeng yang dimaksud adalah tumpeng ukuran mini, kecil, sak uprit. Saya masih sulit membayangkan seperti apa bentuk tumpeng itu.

Saya tidak tahu alasan Mbak Tien menghubungi saya, saat itu. Namun memang di kesempatan sebelum-sebelumnya, kami pernah berkomunikasi  untuk urusan pemesanan aneka kue kering untuk lebaran atau pemesanan oleh-oleh khas Kulon Progo. Memang, mbak Tien dan teman-teman SMA tahu, saya membuat oleh-oleh khas Kulon Progo. Kami beri nama Nindya Cake Tape. Belum banyak yang tahu produk kami, tapi kalau panjenengan penasaran, monggo silakan rawuh di Jalan Wates Km 7,5 Ruko Pasar Balecatur Blok A9,  Balecatur, Gamping, Jogjakarta.

Nah, kembali pada masalah Tumininya Pak Direktur, adiknya Mbak Tien tadi.  Sebagai orang yang sudah madeg menjadi pembuat oleh-oleh, saya tidak ingin menolak pesanan Tumini. Akhirnya saya mencari tahu seperti apa rupa Tumini. Tapi ya ampun, di Jogja tidak ada yang kenal sama Tumini. Saya kurang tahu Pak Direktur kok ya kenal-kenale sama Tumini.

Sadar belum pernah menangani pemesanan seperti ini, saya ‘lempar’ order jumbo Pak Direktur. Saya menghubungi beberapa teman yang biasa menerima pesanan makanan. Setelah berbagi cerita dan berbagi gambar seperti apa wajah Tumini, saya menemukan satu rekan yang bersedia membuat sewu Tumini. Saya percaya dia bisa, karena memang punya jiwa Bandung Bondowoso. Lega juga rasanya bisa membantu Mbak Tien mendapatkan pihak yang sanggup menerima pesanan 1000 Tumini.

Tapi apa yang terjadi? Seminggu setelah menyatakan kesanggupannya untuk membuat sewu Tumini, saya mendapat kabar kurang baik. Oleh karena alasan satu dan lain hal rekan saya menyatakan tidak sanggup mengerjakannya.

Saya kabarkan tentang ketidaksanggupan rekan saya tersebut kepada Mbak Tien, namun saya tidak ingin membuat Mbak Tien gusar. Jika dipercaya, saya akan mencoba tantangan baru membuat 1000 Tumini. Jadilah uji coba saya lakukan. Beberapa hari saya ibut,  mencoba untuk membuat Tumini lengkap dengan lauk pauk serta asesorisnya.

Lalu, sampailah pada hari peringatan nyewunya Simbok Tadjuk yang bertepatan dengan hari Jumat, 21 Desember 2018. Seluruh karyawan saya kerahkan. Dibantu beberapa saudara dan tetangga, saya benar-benar menjadi Bandung Bondowoso yang siap membuat Tumini dalam semalaman.

Selesai. Satu permasalahan yang saya khawatirkan adalah rusaknya Tumini saat dibawa dari kidul Nagung, rumah tempat memasak dan menyiapkan Tumini, sampai ke dusun Nganjir sebagai lokasi acara 1000 hari wafatnya Mbok Tadjuk. Jarak yang tidak dekat, jalanan yang menanjak, berliku dan tidak rata membuat kekhawatiran itu semakin besar.

Sekitar pukul 10.00 pagi, dua mobil penuh Tumini meluncur ke dusun Nganjir. Dengan kecepatan yang tidak terlalu kencang serta berusaha sangat keras mengindari goncangan, 20 menit kemudian kami sampai di dusun Nganjir. Saya belum tahu apakah tampilan Tumini masih utuh atau hancur-lebur.

Sampai akhirnya, saya buka bagasi dan mengeluarkan si Tumini. Alhamdulillah tidak rusak, utuh, sehat dan tetap cantik. Setelah lega Tumini tetap cantik, ada deg-degan yang lain, karena acara peringatan 1000 wafatnya Simbok Tadjuk dibuat besar-besaran.

Tanpa saya tahu sebelumnya, ternyata Pak Direktur menjadikan momentum Nyewu sebagai peluncuran buku biografinya yang diberi judul sangat ndeso, Nami Kulo Sumarjono. Dan, sewu Tumini menjadi pendanda hajat ageng itu.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.