Sore-sore, Sego Panas, Lawuh Bethik

oleh -199 Dilihat
oleh

Sore sudah datang. Dari dapur, sudah terdengar ibu menyiapkan makan malam. Bukan makan malam seperti orang-orang kaya, tapi sekadar makan sebelum malam datang. Hari ini, ada yang spesial, karena ada lauh iwak bethik.

“Mau awan, bocahku nawu kalen. Entuk okeh. Lumayan nggo lawuh,” kata Mastama, yang sudah bersiap di depan sepiring nasi, sayur kates, dan ya itu tadi, iwak bethik cilik-cilik yang digoreng garing. Renyah.

Dua anak Mastama ikut menghadap piring masing-masing. Mereka sedang menunggu sambel yang sedang diuleg. Sambil senyum-senyum, Mastama yang seorang ASN, melemparkan angannya ke masa lampau. Dulu, ia dan beberapa sahabatnya, juga senang jika habis tawu, lalu makan sore dengan lawuh ikan yang digoreng garing.

Kenangan itu, seperti diputar kembali. Sepanjang siang tadi, saat mengawasi anaknya ngubek-ubek blumbang, ingatannya sudah menerawang jauh ke masa yang sudah lewat. Saat itu, seusia anaknya, kegemaran yang sama juga selalu dilakukan. Jika tidak di blumbang depan rumah atau belakang rumah, biasanya bersama ‘geng tawu’ ia mencari mangsa di tempat lain.

“Yang senang itu kalau tawu di blumbangnya Mbahdul atau Pak Jamin. Iwake gede-gede, tapi kalau semakin ke utara harus hati-hati karena tempatnya sinum. Dulu kami tidak berani tawu di blumbang dekat kramatan Eyang Singosari, takut kuwalat. Katanya, ada lele truno yang tidak bisa sembarangan diambil,” kenangnya.

Mastama terus memutar ulang sejarah masa kecilnya. Ia baru sadar setelah anaknya menyenggol piring dan menumpahkan segelas wedang teh kental kesukaannya. (stmj)