Oleh : Nia Samsihono
Penulis di Indonesia telah melalui perjalanan yang penuh liku-liku. Memasuki tahun 2025, dunia kepenulisan menghadapi tantangan baru sekaligus peluang yang menjanjikan. Dengan perkembangan teknologi, perubahan minat pembaca, dan situasi industri kreatif, penulis Indonesia harus beradaptasi untuk tetap dapat relevan mengikuti perkembangan zaman.
Dunia teknologi membawa platform digital menjadi medium utama bagi penulis. Novel, cerpen, atau bahkan puisi kini semakin banyak diterbitkan melalui aplikasi membaca, blog, hingga media sosial seperti Wattpad atau Storial. Platform ini memberikan peluang bagi penulis pemula untuk menunjukkan karya mereka tanpa harus melalui penerbit tradisional. Namun, dengan semakin banyaknya karya yang terbit secara digital, persaingan semakin ketat. Penulis dituntut untuk lebih kreatif dalam menyampaikan cerita dan memasarkan diri agar bisa menarik perhatian pembaca.
Tahun 2025 diprediksi menjadi puncak penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam industri kreatif, termasuk kepenulisan. AI mampu menghasilkan cerita, puisi, atau bahkan naskah film dalam hitungan menit. Hal ini dapat menjadi ancaman bagi penulis tradisional karena karya AI sering kali dianggap lebih cepat dan efisien. Namun, penulis manusia memiliki keunggulan utama: emosi dan pengalaman autentik. Penulis yang mampu menghadirkan kedalaman emosi dalam karya mereka akan tetap relevan dan diminati.
Generasi muda Indonesia menunjukkan minat yang besar pada cerita dengan tema lokal yang dikemas dalam nuansa modern, seperti fantasi yang terinspirasi dari mitologi Nusantara. Penulis yang mampu mengangkat budaya lokal dengan gaya yang segar memiliki peluang besar untuk menonjol. Selain itu, genre nonfiksi seperti self-improvement, literasi finansial, dan isu-isu lingkungan juga semakin diminati. Penulis yang peka terhadap tren ini dapat menjangkau audiens yang lebih luas.
Sayangnya, royalti penulis di Indonesia sering kali tidak memadai. Dengan banyaknya karya gratis di platform digital, pembaca cenderung enggan membeli buku fisik atau e-book berbayar. Hal ini membuat penulis harus mencari alternatif pendapatan, seperti menjual merchandise, mengadakan workshop, atau menjadi pembicara di berbagai acara.
Penulis kini tidak lagi terbatas pada buku atau cerita. Mereka dapat bekerja sama dengan industri film, game, dan bahkan teknologi VR (virtual reality) untuk menciptakan cerita interaktif. Kolaborasi ini membuka pintu baru bagi penulis untuk menyalurkan kreativitas sekaligus meningkatkan penghasilan.
Nasib penulis Indonesia di tahun 2025 akan sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dengan memanfaatkan teknologi, memahami minat pembaca, dan menciptakan karya yang autentik, penulis Indonesia tetap memiliki tempat di hati pembaca. Meski tantangan terus hadir, peluang yang tersedia jauh lebih besar bagi mereka yang siap menghadapi perubahan. Sebagai penulis, optimisme dan keberanian untuk mencoba hal baru akan menjadi kunci untuk bertahan dan berkembang di era modern ini. Teruslah berkarya!(*)
Nia Samsihono adalah Ketua Umum Satupena DKI Jakarta