Wong Jowo Iku Ojo Ora Ngerti Jawane

oleh -143 Dilihat
oleh
Api Cinta di Kaki Menoreh (6)
Oleh: Kangtomo Surosetiko

Selama ini suweg tidak menjadi makanan pokok di masyarakat. Suweg yang sering terasa gatal di lidah. Hanya dikonsumsi masyarakat ketika terjadi pageblug. Masyarakat yang masih menemukan nasi tidak akan makan suweg.  Tumbuhan liar di ladang sering terabaikan. Hanya sesekali dikonsumsi ketika masyarakat kesulitan mendapat bahan makanan pokok.

Dalam keadaan normal, suweg lebih banyak dijadikan makanan sapi atau kerbau. Namun masyarakat kebanyakan mengonsumsi untuk keperluan cadangan. Terlebih ketika kondisi bahan makanan di masyarakat mulai menipis. Suweg menjadi alternatif makanan ketika masyarakat sudah mengalami kesulitan mendapatkan bahan makanan.

Anak-anak telanjang dada, telanjang kaki. Tidak sedikit bahkan yang telanjang bulat. Semua itu menjadi bagian dari keseharian yang menyesakkan. Matsani tidak hendak menyaksikan anak-anaknya sendiri seperti kebanyakan anak di desanya. Matsani menghendaki anak-anaknya hidup layak seperti zaman normal. Syukur kalau anak-anaknya nanti hidup sejahtera. Sebagaimana anak-anak bangsawan. Tidak kurang makan, cukup sandang dan tempat tinggal. Meski sudah tidak lagi menjadi keluarga bangsawan namun masih tersisa sangat kehidupan layaknya bangsawan.

“Wong Jowo iku ojo ora ngerti Jawane,” Biyung berpesan kepada anak-cucunya meski sudah menjadi rakyat jelata, namun unggah-ungguh tetap harus dijaga. Jangan sampai kehilangan jatidiri sebagai warga bangsa yang menjunjung tinggi peradaban.

Pesan yang sama dilakukan Madsani kepada anak-anak remaja yang tidak jarang datang sekedar duduk-duduk di surau sehabis shalat maghrib. Kepada anak-anaknya yang bakal lahir, Madsani juga berpesan agar tetap menjadi orang Jowo yang mengerti trapsilo.

“Le sing prihatin yo,” kata Madsani seperti berpesan kepada anaknya yang masih dalam kandungan sang istri.  Madanom istri Madsani tengah mengandung anaknya yang pertama.  Dalam hati Madsani selalu berdoa agar anak-anak dan keturunannya kelak hidup rejo seperti diperhitungkan kakek buyutnya di masa silam.

Mudah-mudahan doa yang dipanjatkan kakek buyutnya, menjadi kenyataan. Meski bukan di zaman ini ketika kehidupan mengalami pasang surut. Syukur kalau masih menemukan zaman rejo. Kalau tidak mudah-mudahan anak cucu dan cicitnya tidak menemukan zaman yang serba sulit. Untuk makan cukup saja harus berjuang, apalagi untuk mendapatkan semuanya yang serba berlebihan.

Mudah-mudahan anak cucunya bertemu dengan zaman yang lebih baik. Murah sandang pangan dan dapat menjalani kehidupan secara normal. Tidak kurang satu apapun, meski tidak berlimpah dengan harta. Mas picis rojo brono, harta benda kadang melalaikan manusia dalam menghadapi kehidupan di alam raya ini.

“Cegah dahar, cegah sare akan lebih baik,” katanya seperti tengah memberi wejangan kepada generasi yang akan datang.  Hal itu perlu dilakukan siapapun, agar ketika menghadapi kesulitan susah sandang susah pangan akan mampu menghadapi tanpa terkaget-kaget.

Madsani miris menyaksikan pemandangan yang setiap hari melintas di depan matanya. Meski anak-anak tidak peduli dengan penampilan dan kehadirannya, namun bagi Madsani terasa menggumpal dalam dada. Ada perasaan pedih, pilu dan gamang menyaksikan pemandangan di kampung halamannya.

“Akankah anak-anakku seperti itu,” Madsani membatin saja sembari terus mengawasi anak-anak yang tengah berlarian sambil telanjang dada. Bagaimana kehidupannya, haruskah menjalani hari-hari dengan segala pahit-getir. Haruskah besok masih berjuang sekedar untuk dapat makan, minum  dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akankah perjuangan masih harus dilakukan seperti hari ini untuk sekedar mendapatkan makanan yang cukup. Ataukan keadaan jauh lebih buruk lagi dari kondisi saat ini. (bersambung)