Pagi-pagi tadi, ada yang sangat mengejutkan. Benar-benar mengejutkan, karena tiba-tiba Kiai Jenar mengirim foto kenangan. Seriusan kenangan. Fotonya aja hitam putih. Sepertinya foto itu berasal dari album yang difotocopy.
Tapi sebenarnya, foto ini, lanjutan dari cerita tentang jaman semono, yang sejak kemarin sudah diubal-ubal poro konco. Orang pertama yang bercerita soal masa lalu adalah Omyon. Ia seniman yang peng-pengan. Bisnisnya membuat miniatur bis dari kayu, sudah merambah ke mana-mana. Pesanannya banyak.
Nah, wingenane, Omyon menulis soal Ekspedisi Menoreh. Ini memang hobi menyenangkan, anak-anak dusun. Kemarin itu, Omyon melemparkan kalimat yang mengelitik ingatan. Ingatan soal kegembiraan sederhana kami sebagai cah ndeso.
Pendakian muda-mudi Jombokan, itu kalau tidak salah nama ekspedisi yang dipimpin Maswin. Lalu, Kiai njenar menambahkan cerita tentang dirinya kesasar bersama Kang Barno. Semua rombongan sudah sampai ke Goa Splawan, sedang mereka malah salah jalah.
Semua cemas menunggu. Tapi Kiai Jenar dan Kang Barno tak kunjung datang. Mereka baru kelihatan menggeh-menggeh alias ngos-ngosan setelah semua tim memutuskan untuk turun gunung, pulang dan melaporkan hilangnya dua personil yang sesungguhnya sudah senior untuk urusan jelajah Menoreh.
Saya menduga, keduanya kesasar karena Kiai Jenar yang memang punya dasar kreatif sedang bermain improvisasi. Pasti daya kreativitasnya sedang menyala sehingga memutuskan membuka jalur baru, supaya lebih cepat. Tapi rupanya, insting kreatifnya sedang tidak bagus, sehingga malah keblasuk-blasuk sampai jauh.
Mendengar kisah itu, Mbahro antusias. Jelas, ia memang yang paling renes alias menang banyak. Soalanya, hanya dia yang berani mengawal tim putri. Apalagi, ada dua idola yang membuat semua bersemangat mengikuti penjelajahan ini.
Jadi begitulah. Setelah riuh seharian mengurai kisah masa silam, mau isuk, Kiai Jenar membagikan foto foto copyan. Foto dengan empat bingkai yang mengabadikan suasana saat kami mendaki Menoreh. Tapi momentnya beda. Bukan yang kemarin dishare Omyon. Kali ini, Kiai Jenar mengunggah foto saat melakukan penjelajahan ke Splawan dengan tim yang lebih kecil.
Hemm..isuk umun-umun, hati sudah berdebaran mengenang jaman noroyono. Memang. Meski cah ndeso, kami memiliki kelompok jelajah hutan yang sangat aktif mengeksplor perbukitan Menoreh. Jadi jauh sebelum wisata Menoreh populer hari-hari ini, kami barangkali orang pertama yang selalu terpesona dengan barisan perbukitan di belakang rumah kami itu.
Sebelum Goa Kiskendo jadi obyek selfi orang-orang dari jauh, kami sudah berkemah di sana. Kalibiru dan sejenisnya belum terfikirkan dibuat. Nama komunitas pecinta alam yang kami miliki adalah Bassiss 17. Kala itu, termasuk gendap-edapi. Ngawu-awu. Jian kondang.
Dulu, yang sudah kondang ya Goa Kiskendo. Atau yang lebih tinggi lagi Puncak Suroloyo. Kalau menyisirnya ke arah barat, ya ke Goa Spalawan di perbatasan dengan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pernah, kami ingin sampai di Borobudur, tapi malah kesasar-sasar, lalu memutuskan pulang lagi.
Jika Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, sekarang ini, membuka jalur ke Borobudur lewat program Bedah Menoreh, kami sudah memulainya dengan nyasar-nyasar dan hanya muter-muter di pusar Menoreh.
Alhamdulillah. Postingan Omyon dan Kiai Jenar membuat ingatan segar. Sudah agak lama memang, momentum itu tersimpan. Kiai Jenar misalnya, membagikan foto yang dia catat terjadi pada hari Kamis, 8 April 1992.
Lumayan juga arsip yang dimiliki Kiai Jenar. Meski hanya selembar fotocopyian, tapi itulah dokumen otentik tentang kami. Apalagi, secara serius Kiai Jenar memberi tambahani dokumentasinya dengan titi mangso yang menambah akurat. Kamis, 8 April 1992.
Dengan titi mongso itulah, kami bisa menghitung usia kenangan ini. Kenangan yang sudah tersimpan sepanjang tri windu madyo warso. Atau tepatnya, 28 tahun. Semua akan menjadi kenangan yang lestar. Semoga sehat-sehat semua. (*)