Hestirini menunggu sangat lama. Menunggu Indrajit bangun dari melamun. Agak aneh memang, melamun sambil memandang dengan mata berpedang. Tajam tak terpejam.
Baru setelah dijawil, Indrajit sadar sedang berdiri berdua di tepi pagar toko di kulon prapatan. Ia kemudian membuang matanya jauh ke barat sambil ngunjam ambegan. Setelah itu, setelah kembali diam sesaat, ia mulai berbicara dengan kata-kata tanpa daya.
“Masih pagi, tapi cintamu sudah murup, berkobar, membakar. Kita sama-sama hangus,” Indrajit berkata seperti pada dirinya sendiri. Lemah, lirih, liris, dengan hati teriris-iris.
“La terus piye? Mungkin karena kita masih terlalu kecil saat itu. Cinta muncul tanpa bentuk.” Hestirini membalas sama lirihnya. Tak tahu, ia harus menanggapi apa kalimat Indrajit yang membuat hatinya ikut larut dalam kemelut.
“Kenapa kamu menghilang, Jit?” Mendengar pertanyaan itu, Indrajit bangkit. Kepalanya patah menengok ke kiri langsung ke mata Hestirini yang ikut terkejut melihat reaksi Indrajit dengan mata berkilatan.
“Loh sopo sik menghilang? Bukane sliramu? Gara-gara kepincut karo sopo kae…” Indrajit tidak melanjutkan kalimatnya. Ia, selalu disobek nyeri setiap kali mendengar nama itu. Nama seseorang yang ia anggap penjadi penyebab Hestirini menghilang.
Hestirini mengaduh kecil tapi cukup untuk didengar Indrajit. Ia melihat tanda-tanda akan terjadi perselisihan, sehingga dengan segera membalikkan badan, memandangi Indrajit yang berdiri luruh ke arah utara.
“Tidak ada yang perlu disalahkan. Iki dudu salahe sopo-sopo. Iki Salahe awake dewe sik ora wani terus-terang.” Dalam hati, mendengar kalimat itu, Indrajit mengiyakan. Tapi ia masih berusaha menawar penjelasan.
“Nek ora wani, kenapa sliramu nulis inisial ACI nang mejo? Apa yang terlintas saat itu? Cuma main-main to?”
“Ora Jit. Itu dari hati. Arep ngomong langsung yo ra mungkin wong sik arep diomongi uangtenge pol. Sik jelas yo ora wani,” Hestirini merasakan pipinya memanas. Ia tersipu sendiri, akhirnya harus mengakui semua yang pernah dirasakaan saat itu di depan Indrajit. Tapi hatinya, lega, kini. Plong karena sudah berani berterus-terang, meski mungkin akan berbeda jika kejujuran itu dilakukan empat tahun lalu.(bersambung)