Hari ini, mumpung tanggal 9 Februari. Tanggal penting bagi orang media, karena hari ini adalah Hari Pers Nasional. Saya ingin membuat tulisan yang ditingkah rasa perih. Perih oleh kepergian Pak Margiono, mantan Ketua PWI Pusat dua periode, bos, sekaligus sosok yang banyak memberi kepercayaan (sambil setengah ngetest, seperti kebiasaan yang dilakukan Bos MG).
Mohon maaf, jika nantinya, tulisan ini menjadi sangat subyektif. Saya percaya, semua orang yang mengenal pendiri Rakyat Merdeka itu, memiliki kenangan sangat personal, yang berupa-rupa cerita.
Saya akan mulai cerita dari pinggiran Jakarta, di tahun 1994. Dari Kampung bernama Rawa Bokor yang jauh dari kesohor. Nama itu, juga baru saya ketahui, saat harus ikut Harian Merdeka yang boyongan dari kantor di kawasan MT Haryono.
Di wilayah jauh yang bernama Rawa Bokor, (kalau naik Kopaja dari pusat Jakarta, butuh waktu dua jam, atau kalau mau cepat naik bus Damri Bandara, tapi ongkosnya mahal betul) saya mengenal Pak Margiono. Sampai sekarang yang masih sangat lekat dalam ingatan, saat Minggu pagi, Pak MG datang ke kantor, turun dari mobil diiringi nyonya dan seorang anak perempuan kecil.
Saat itu, saya biasa nginap di kantor. Temannya banyak. Selain arek-arek Surabaya yang ngurusi percetakan dan pemasaran, ada beberapa kawan lain yang ngekos di dekat kantor, tapi lebih sering tidur di kantor. Misalnya saja Ipung yang legendaris dan flamboyan itu.
Nama aslinya sangat bagus. Imam Mawardi Sumarsono. Meski kalau ngomong masih sangat ndeso (seperti umumnya orang Jawa di Jakarta) tapi pacarnya mahasiswi kedokteran Trisakti. Pacarnya itu sering ngapel (memang kebalik, ceweknya yang ngapel) ke kantor naik mobil Katana. Cak Ipung senang berkesenian, rambutnya gondrong, karena saat di Bandung bergaul dengan mahsiswa STSI. Juga lama tinggal di Solo yang mbudaya.
Ini kawan yang tidak main-main, karena adik angkatan Bos saat kuliah di Bandung. Dibawa dari Solo, meski aslinya dari Tanggulangin. Sejak pertama kenalan, saya tahu, Ipung “dipersiapkan” oleh Pak MG untuk menjadi sesuatu. Tapi ya begitu. Kalau dia nulis, tetap saya edit, tidak peduli sedang nulis cerpen (ini yang sering membuatnya kesal, tapi karena saya sudah ikut Pak UG nggarap Merdeka Minggu yang ada rubrik cerita bersambung, saya tidak peduli. Pokoknya semua tulisan saya edit).
Oh iya, ada juga Bang Supri dan Kang Fauzan (ini pioner layout hingga saat ini). Kemudian, ada Kang Yono (ini orang yang ngurusin kebutuhan personal Pak MG di Rawa Bokor, sekarang jadi Manager Pemasaran Rakyat Merdeka). Banyak cerita dari kawan satu ini, termasuk saat pacaran, semua surat-surat cintanya saya yang menuliskan. He…he…he…
Nah, setiap pagi, sebelum liputan kebudayaan, saya menulis materi-materi yang kemarin belum ditulis. Biasanya, di pagi itu, Pak MG rawuh ke kantor, keliling-keliling. Ruang redaksi, selalu dikelilingi paling akhir. Saya ingat kalimat beliau, “Sing tok belani ki njuk opo?” Kalimat itu menjawab ucapan seloroh saya, “Niki kulo belani dereng tilem.”
Memang. Seperti malam sebelum-sebelumnya, kalau di kantor tidurnya hanya sejam-dua jam, selebihnya ngobrol ngalor-ngidul sama banyak teman. Atau main catur di komputer bekas yang didaur ulang menjadi komputer milik Tabloid Interaksi pimpinan Cak Ipung, di pojokan lantai dua yang horor.
Waktu berlalu. Tahun 1994, secara perlahan menjauh. Saya mulai berangkat menjadi wartawan yang sudah bisa dipercaya megang halaman, meski tetap di halaman Merdeka Minggu. Dan, tetap dipandu Pak UG.
Berikutnya, di tahun 1998, saya diminta ikut mendirikan koran bernama Demokrat. Terbit perdana, 8 Oktober 1998. Pimpinannya Pak Torong yang juga legendaris. Ini koran kerjasama dengan PDI Perjuangan, yang saat itu sedang sangat hits, menyusul popularitas Megawati Soekarnoputri yang melambung tinggi. Sayangnya, dokumentasi koran ini di perpustakaan saya remuk, lembar demi lembar yang mencatat perjalanan kepenulisan saya itu, hancur disergab rayap. Asem tenan…
Setelah era Harian Merdeka selesai, kemudian berganti menjadi Rakyat Merdeka, suasana sudah agak berubah. Saya tidak perlu ceritakan, kisah perubahan atau perpindahan atau pergantian dari Harian Merdeka menjadi Harian Rakyat Merdeka. Yang melegakan, redaksi tidak lagi di pelosok, tapi di pusat kota, meski namanya tetap pakai rawa: dari Rawa Bokor pindah ke Rawa Belong.
Berkat gemblengan Pak UG, Pak Ruli, dan tokoh-tokoh kampiun Harian Merdeka di fase Rawa Bokor, saya sudah boleh senang, saat memasuki Rawa Belong. Pak MG juga mulai yakin (barangkali) memberi kepercayaan yang agak besar.
Saya masih sangat ingat, pagi itu, Pak MG duduk di samping saya yang sedang ngedit halaman 1 Demokrat. Judul cover yang saya buat, diganti dengan judul yang sangat keras. Saya mulai ketar-ketir, karena tangana Pak MG memang sakti untuk urusan membuat judul halaman utama.
Dan, benar. Ketar-ketir saya jadi kenyataan. Berkat judul itulah, saya digerudug kader Partai Amanat Nasional. Sendirian di kantor Rawa Belong, saya dikepung ratusan orang, termasuk Doddy Handoko, wartawan Amanat Nasional (ini tabloid bikinan Grup Jawa Pos dengan PAN), yang kemudian menjadi karib saya.
Sudah. Setelah era Demokrat, pada pertengahan tahun 1999 (tepatnya 1 Agustus 1999), saya kembali dipilih (nggak tahu, mungkin karena yang lain enggan atau oleh sebab tidak ada pilihan lain) ikut mendirikan koran baru. Kali ini, agak nyeleh. Harian Meteor.
Sesungguhnya, koran ini menarik dan berpotensi menciptakan pasar, karena ini merupakan koran mistik pertama di Indonesia yang terbit setiap hari. Saya tahu, Pak MG adalah orang Jawa yang diam-diam, paham tentang mistik dan spiritualisme Jawi. Sayang, Harian Meteor tidak bertahan lama. Tapi lebih sayang lagi, dokumentasi di perpustakaan saya remuk dikremus rayap.
Grup Rakyat Merdeka dengan salah satu grup di bawah Jawa Pos di Surabaya yang menaungi Harian Meteor, tidak menemukan kesesuaian. Meteor kemudian dibawa ke Semarang, dijadikan Harian Meteor versi koran metro-kriminal. Cukup eksis sebelum era media cetak digerogoti digital.
Kembali ke induk Rakyat Merdeka, saya memperkuat pasukannya Bang Zoel Fauzi Lubis di Bibir Mer. Seperti halaman-halaman lain di Rakyat Merdeka, Bibir Mer adalah rujukan, terutama bagi orang hiburan. Inilah halaman yang menjadi barometer berita artis di Indonesia.
***
Lalu, masuk akhir-akhir November 2001. Lagi-lagi, saya dipilih. Kali ini saya benar-benar merasa hanya menjadi orang yang tidak bisa menolak (seperti teman-teman lain yang berani menolak) untuk ikut mendirikan koran baru. Idenya, seperti ide-ide Pak MG yang lain, nyleneh. Namanya juga tidak lazim. Lampu Merah.
Tanggal keramat untuk memulai terbitan perdana sudah dipilih. Senin Legi, tanggal 10 Poso 1934 Tahun Jawa yang bertepatan dengan tanggal 26 November 2001 Masehi. Atau, 10 Ramadhan 1422 Hijriah.
Pas Puasa tinggal seminggu, tiba-tiba kami dipanggil rapat siang-siang. Jadi bisa dibayangkan lemasnya seperti apa, ditambah fikiran mudik, dan baju lebaran yang belum dibeli. Nah, dalam suasana kalut serupa itu, siang-siang dipanggil poro sesepuh untuk ngumpul, tanpa punya pilihan selain berangkat.
Jadi, saat kami dipanggil siang-siang, Lampu Merah sudah berusia dua pekan. Biasanya, kami ngumpulnya agak sore, menjelang magrib, semacam rapat redaksi. Sampai dua pekan itu, semua masih komplet. Terutama Pak MG yang sangat berhasrat menjadikan koran baru ini membesar.
“Kalau Lampu Merah mau besar, Lebaran harus tetap terbit. Ini adalah momentum untuk Lampu Merah. Di saat semua koran libur Idul Fitri, Lampu Merah beredar sendiri,” kalimat itu, tidak akan pernah saya lukapan, diucapkan Pak MG dengan biasa saja, tanpa tekanan apa-apa, seperti ngudoroso pada dirinya sendiri. Tidak juga terasa sebagai perintah yang tegas.
Semua diam. Bang Zoel yang paling senior (di luar barisan sesepuh) sehingga diserahi tugas menjadi GM, tidak bersuara. Cak Ipung yang dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi, diam. Padahal saya yakin, Pak MG sangat berharap Ipung menjawab tantangan itu, sebab, ia adalah arek Suroboyo yang ‘disiapkan’ secara khusus oleh Pak MG.
Siang itu, semua diam mendengar tantangan yang memang terasa muskil itu. Juga Pak Karim, tokoh idola kami sejak kejayaan Harian Merdeka. Lalu, begitu saja, saya mengatakan, “Saya siap bos.” Semua kaget. Apalagi Pak MG yang seperti tidak menyangka, tantangannya akan dijawab, bahkan oleh saya yang biasanya lebih banyak diam. Saat itu, saya adalah Wakil Pemimpin Redaksi.
Sudah. Akhirnya, Lampu Merah diputuskan tetap terbit pada Idul Fitri. Pas suara takbir di mana-mana, semua sibuk. Menjelang pagi, saya ikut mobil bak terbuka di Merak. Jualan koran. Sepanjang Jakarta-Merak, bersama tim pemasaran, saya tiduran di bak terbuka di antara tumpukan koran.
Itulah sejarah dimulainya koran nyleneh ini, tidak pernah memiliki hari libur, meskipun di kalender ada tanggal merah. Tradisi terbit di tanggal merah, terus dipertahankan hingga waktu yang panjang, bahkan hingga nama Lampu Merah tidak dipakai lagi. Juga, menjadi tradisi baru koran-koran lain di Grup Rakyat Merdeka.
Koran tanpa hari libur itu, baru disudahi setelah dwi windu kemudian, karena akhirnya, Lampu Hijau yang menjadi penerus Lampu Merah mengikuti aturan pemerintah tentang hari libur.
Dan, di Hari Pers Nasional tahun 2022, Lampu Hijau, sudah berusia hampir tri windu, tepatnya 21 tahun. Meski mengalami pelemahan, terutama tirasnya, koran ini masih mampu bertahan di tengah badai digital yang niscaya.
Sampai kapan? Entahlah. Tapi yakinlah, Lampu Hijau adalah tinggalan Bos MG yang harus terus diurus, dirawat, dikeloni sampai nanti. Bukankah, beliau yang selama ini, tidak berkenan Lampu Hijau menyerah pada kesulitan?
Terakhir saya diskusi tentang Lampu Hijau, adalah jelang akhir tahun 2018, saat saya menemui Pak MG di ruangan, sambil memberikan buku biografi tokoh Kulon Progo yang saya tulis. Judul bukunya Nami Kulo Sumarjono. “Wah, sudah berapa buku yang Cakirwan tulis,” Bos MG, langsung membuka bungkus plastik buku yang saya serahkan.
Setelah itu, beberapa kali bertemu dalam rapat bersama pimpinan lain. Terutama menyikapi situasi pandemi yang makin sulit, serta menyiapkan strategi menghadapi banyak kemungkinan pasca pandemi.
Lalu, ini yang membuat saya perih. Delapan hari sebelum Hari Pers Nasional, atau 1 Februari 2022, Bos MG tiba-tiba didawuhi kondur oleh Gusti kang Haryojagad.
Kini, setelah Bos tidak ada, tinggal saya seorang diri yang tersisa di Lampu Hijau. Sementara tokoh-tokoh redaksi di balik kelahiran koran legendaris ini sudah lebih dulu mengambil pilihan berbeda: Bang Zoel sudah lama memilih serius terjun di dunia hiburan, Cak Ipung mengejar mimpi-mimpinya yang lebih global, Pak Karim, Pak Kiki, serta pimpinan lain sudah sibuk mengurus hal-hal yang lebih besar.
Begitulah Bos MG. Selain bisa dipercaya ikut membidani lahirkan beberapa koran, tabloid, dan majalah, di lingkungan Rakyat Medeka Grup, saya mengenal beliau secara personal, terutama jika sudah berhubungan dengan wayang dan mistik. Pernah suatu kali, selepas magrib, Pak MG mencari saya, diajak nonton ketoprak di Taman Ismail Marzuki (TIM). Saat itu, kebetulan Pak Dahlan Iskan ikut main ketoprak.
Sepanjang perjalanan itulah, beliau bercerita banyak tentang spiritualisme Jawi. Saat saya menyebut istilah Jawa yang populer, bahwa hidup itu harus sakmadyo, Pak MG menerjemahkan dengan sangat baik. Sakmadyo tidak berarti nelongso. Ukuran sakmadyo bagi setiap orang juga bisa berbeda.
“Sakmadyonya Cakirwan, bisa naik honda yang dingin. Beda dengan sakmadyonya orang-orang itu,” Pak MG menunjuk orang di luar mobil, saat lalu-lintas terhenti oleh lampu merah sebelum tikungan Permata Hijau.
Maka hari ini, mumpung tanggal 9 Februari. Tanggal penting bagi orang media, karena hari ini adalah Hari Pers Nasional, saya membuat tulisan yang ditingkah rasa perih. Perih oleh kepulangan Pak Margiono. Swargo langgeng bos.(*)