Kang Yadi & Duka Panjang di Hati Saya…

oleh -805 Dilihat
oleh

Duh Gusti. Kok ya kesedihan, seperti datang silih berganti. Tak berhenti, entah sampai kapan.

Oleh Irwan
Founder Kabarno.com

Kesedihan oleh sebab ditinggalkan orang-orang terdekat yang jika boleh ditawar, seharusnya masih berusia panjang. Saya ingin sekali meyimpan seluruh kesedihan ini, hanya untuk diri sendiri. Tapi sejak hari Selasa enam hari lalu, hati selalu berdebaran, penuh nelangsa. Jadi saya harus menuliskan perasaan ini.

Hari itu, hari Selasa. Malam-malam, kabar mengejutkan datang. Kang Yadi masuk rumah sakit, setelah pingsan.  Salah seorang putri beliau menuliskan pesan yang langsung membuat tratapan. Sudah berhari-hari, hati seperti diantemi duka lara, tiba-tiba mendengar sahabat terbaik masuk rumah sakit.

Baiklah. Saya ingin bercerita tentang ati sing keloro-loro, sejak dua tahun lalu, setelah Kang Tomo sedho. Beliau wartawan senior. Mentor, sekaligus pengganti orangtua yang dengan gemati nuntun, di saat saya merintis, timik-timik, jadi wartawan.

Hari itu, tanggal 23 Juni 2021. H Dwidjo Utomo berpulang dalam usia muda 58 tahun. Tidak sakit, tahu-tahu dipanggil Sing Kuwoso. Saya menangis tertahan, karena saat itu, tidak bisa berbuat banyak, selain menahan airmata. Kondisi badan juga sedang tidak fit, yang ternyata beberapa hari kemudian saya terdeteksi kena Covid. Hati teriris, karena akhirnya sadar bahwa saya sejak itu seorang diri tanpa saudara di perantauan.

Dan, ketika kesedihan belum tuntas, datang kabar duka kedua. Sahabat saya, Doddy Handoko yang juga wartawan senior yang berpengalaman di banyak media, berpulang. Hari itu, 28 Juli 2021, artinya, hanya berjarak satu bulan dari kepergian Kang Tomo.

Kang Tomo dan Kang Doddy satu alumi perguruan tinggi jurnalistik di Semarang, meski dibedakan rentang kelulusan yang panjang. Keduanya juga saya mohon untuk bersedia nggulowentah dan ngeloni  website koranpelita.com.

Banyak pengalaman bersama Doddy yang asli Semarang itu. Apalagi, ia termasuk penulis yang andal, terutama bab mistik dan bab-bab kabudayan Jawi.

Sudah. Saya hanya bisa terus mendoakan Kang Tomo dan Kang Doddy. Tapi kembali, duka datang. Itu terjadi kurang dari satu tahun. Tepatnya,  1 Februari 2022, seminggu sebelum Hari Pers Nasional tanggal 9 Februari. Kali ini, yang membuat duka, yang tak kalah dalam adalah wafatnya bos saya, Haji Margiono yang merupakan mantan Ketua PWI Pusat dua periode.

Pak MG (begitu beliau biasa disapa) adalah tokoh pengpengan di dunia wartawan. Saya beruntung bisa menimpa ilmu menulis secara langsung dari tokoh kelahiran Tulungagung Jawa Timur itu. Saya mengenal Pak Margiono sejak awal-awal menjadi wartawan di tahun 1994, saat beliau hijrah dari Jawa Pos untuk membesarkan koran perjuangan bernama Harian Merdeka.

Pada perkembangan selanjutnya, setelah berdiri Harian Rakyat Merdeka, saya termasuk yang ikut ditunjuk membidani dan mengembangkan koran Lampu Merah yang beliau dirikan. Lampu Merah (kemudian berganti nama Lampu Hijau) menjadi koran dengan oplah terbesar di lingkungan Rakyat Merdeka Grup, oleh karena tangan dingin Pak MG.

Begitulah. Setelah duka demi duka menjauh (meski kadang masih terasa nelangsa) hantaman rasa perih menghampiri lagi. Hari berkabung datang tanggal 24 Juni 2023. Artinya belum 40 hari lalu. Atau dua tahun dari kepergian Kang Tomo tanggal 23 Juni 2021. Kali ini, yang dikersake kondur ing ayunannging Gusti keponakan. Usianya baru 37 tahun. Sosok yang menjadi harapan keluarga besar, karena dialah bintangnya seluruh trah.

Kemudian, sebelum 40 hari dari berpulangnya keponakan yang menjadi idola keluarga, kemarin, 30 Juli 2023, Kang Yadi yang merupakan sahabat terbaik, wafat. Usianya belum tua, masih seusia Kang Tomo saat pulang ke sisi Tuhan, 58 tahun.

Saya mengenal Kang Yadi. Atau lengkapnya Yadi Haryadi tahun 2018, setelah saya mendirikan Kabarno.com. Saat itu, saya sedang pulang ke Kulon Progo untuk ikut perayaan Nyadran Agung. Ada kawan yang memberitahu, saya dicari wartawan. Hari itu, kami memang sempat tidak ketemu, bahkan sampai saya pulang ke Jakarta.

Lalu, Kang Yadi mengirim pesan lewat telepon, memperkenalkan diri, sekaligus menyatakan tertarik bergabung dengan Kabarno. Tapi saat itu, saya langsung mengatakan bahwa Kabarno itu website yang saya buat untuk klangenan, menulis tentang Kulon Progo. Jadi tidak bisa memberikan apa-apa.

Saya masih sangat ingat, jawaban Kang Yadi yang membuat trenyuh tapi sekaigus mongkok. Bangga.  Beliau mengatakaan tidak ingin apa-apa, hanya ingin ikut menulis untuk kemajuan Kulon Progo. Jadilah sejak itu, Kang Yadi menulis di Kabarno hingga tulisan terakhir enam hari lalu, sebelum ada kabar masuk rumah sakit.

Sugeng tindak kang, swargo langgeng njih…(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.