Saya mencari tempat untuk menghadap. Menghadap Ki Jurumertani yang memiliki peran istimewa dalam sejarah Pajang dan Mataram.
Entah mengapa, nisan Ki Jurumertani dipisahkan. Tidak disatukan dengan Ki Ageng Pemanahan, Nyai Ageng Pemahanan, serta Nyai Ageng Pati yang satu deret, satu undakan. Mungkin untuk memberi celah antar nisan, agar peziarah bisa berjalan, menuju undakan paling tinggi, tempat Sultan Pajang berada.
Di dekat dinding (nisan ini memang berada di posisi paling barat dekat dinding) saya mendapatkan tempat yang nyaman untuk semadi. Tidak menganggu jalan peziarah lain, meski harus memungggungi kijing Kanjeng Pangeran Mangkunegara dan Kanjeng Pangeran Tepasana, di bawah pusara Ki Jurumertani.
Semadi saya mulai dengan uluk salam, menyapa dengan ujung batin saya. Lalu, membaca doa-doa pendek, serta ayat-ayat suci, yang juga tidak panjang-panjang. Ditutup dengan berzikir. Setelah itu, ritual membuka dialog dengan Ki Jurumertani saya mulai, bersama datangnya hawa dingin, yang saya rasakan semakin menggigit.
Surjan pranakan, busana abdi dalem yang semula sempit membuat gerah, justru tak berhasil melindingi kulit dari sergapan hawa dingin. Saya membiarkan saja, suasana itu, menyergap, meski akhirnya tubuh menyerah oleh gigil yang hebat.
Saya berusaha bertahan dengan memberi sembah agak lama, memohon kesediaan Ki Jurumertani, untuk menerima saya – jika hawa dingin yang menerpa ini, adalah sasmita penolakan dari penasehat utama raja-raja Jawa itu.
Benar. Saya memang harus mundur. Saya melihat, seperti ada kelebatan tangan yang menolak. Entahlah. Apakah tangan itu miliki Ki Jurumertani atau tangan salah seorang juru kunci makam (yang memang banyak mengantar peziarah), tapi saya memutuskan untuk beranjak, setelah sembah yang lama saya akhiri.
Tidak jauh dari saya bersimpuh, Bekel Hastono Sumitro yang sepuh, datang. Tangannya membantu saya berdiri. Rupanya, abdi dalem juru kunci Kasenapaten itu, melihat seluruh rangkaian kejadian yang saya alami.
Ajaib. Setelah saya mundur, seperti begitu saja terbebas dari kumparan hawa dingin yang seolah hanya mengelilingi pusara Ki Juru. Saya dibawa ke arah belakang. Di dekat nisan sepotong, milik Ki Ageng Mangir; menantu Panembahan Senapati yang masih dianggap separuh musuh.(bersambung)