IBU DALAM PUISI INDONESIA

oleh -37 Dilihat

Oleh : Nia Samsihono

Ibu di Indonesia diperingati dengan tajuk “Hari ibu” dan peringatan ini sering dikaitkan dengan bulan Desember, tepatnya pada tanggal 22 Desember. Setiap tahun banyak kelompok perempuan mengadakan kegiatan Hari Ibu. Mereka kadang ingat sosok ibu yang diperingati itu berlatar sejarah dengan Dewi Sartika sebagai pahlawan perempuan Indonesia. Jika kita amati bersama bahwa kontribusi pemikiran perempuan yang sering diacu oleh para perempuan atau kaum ibu, yaitu pemikiran Kartini dibanding dengan pemikiran Dewi Sartika. Meskipun demikian para ibu atau para perempuan selalu hadir dan memperingati Hari Ibu.

Sosok ibu telah lama menjadi tema sentral dalam banyak puisi, baik yang ditulis oleh penyair Indonesia maupun dari berbagai belahan dunia. Dalam puisi, ibu sering digambarkan sebagai lambang kasih sayang yang tanpa syarat, kehangatan rumah, hingga pilar kekuatan keluarga. Namun, di balik perannya yang klasik, ibu juga kerap diromantisasi sebagai sosok yang penuh pengorbanan. Jika kita melihat lebih dalam, apakah puisi-puisi tentang ibu dapat dikatakan mengkristalisasi karakter seorang ibu yang relevan bagi generasi muda yang kelak akan menjadi ibu?

Ibu dalam Metafora Puisi

Puisi sering kali menyamakan ibu dengan alam: matahari yang memberikan kehidupan, hujan yang menenangkan jiwa, atau akar pohon yang kokoh menopang segala sesuatu di atasnya. Metafora-metafora ini mengandung pesan penting tentang peran ibu sebagai sumber kekuatan dan kebijaksanaan. Misalnya, Chairil Anwar dalam puisinya “Sendiri” menggambarkan ibu sebagai “bunda pengasih dan pelindung saat dirinya ketakutan tanpa siap pun”.

SENDIRI

Karya Chairil Anwar

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa

Malam apa lagi

Ia memekik ngeri

Dicekik kesunyian kamarnya

Ia membenci. Dirinya dari segala

Yang minta perempuan untuk kawannya

Bahaya dari tiap sudut

Mendekat juga

Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?

Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!

***

Melalui bahasa puitis seperti ini, para generasi muda dapat melihat bahwa menjadi seorang ibu tidak hanya soal memberi, tetapi juga soal mendidik, menginspirasi, melindungi, dan memperjuangkan masa depan.

Namun, adakah pandangan yang lebih membumi dan modern? Dalam konteks saat ini, puisi tentang ibu juga perlu menggambarkan ibu sebagai sosok yang mandiri, berdaya, dan mampu mendidik generasi penerus untuk berpikir kritis dan setara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan. Mari kita baca puisi Joko Pinurbo berikut ini.

SURAT UNTUK IBU

Karya Joko Pinurbo

Akhir tahun ini saya tak bisa pulang, Bu. Saya lagi sibuk demo memperjuangkan nasib saya yang keliru. Nantilah, jika pekerjaan demo
sudah kelar, saya sempatkan pulang sebentar.

Oh ya, Ibu masih ingat Bambang, ‘kan?
Itu teman sekolah saya yang dulu sering numpang makan dan tidur di rumah kita. Saya baru saja bentrok dengannya gara-gara urusan politik
dan uang. Beginilah Jakarta, Bu, bisa mengubah kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan.

Semoga Ibu selalu sehat bahagia bersama penyakit yang menyayangi Ibu. Jangan khawatirkan
keadaan saya. Saya akan normal-normal saja.
Sudah beberapa kali saya mencoba meralat
nasib saya dan syukurlah saya masih dinaungi
kewarasan. Kalaupun saya dilanda sakit
atau bingung, saya tak akan memberi tahu Ibu.

Selamat Natal, Bu. Semoga hatimu yang merdu berdentang nyaring dan malam damaimu diberkati hujan. Sungkem buat Bapak di kuburan

***

Puisi “Surat untuk Ibu” karya Joko Pinurbo adalah sebuah karya yang menyentuh, dengan gaya khasnya yang menggabungkan keintiman personal, ironi, dan kritik sosial. Puisi ini memiliki relevansi yang mendalam jika dikaitkan dengan peringatan Hari Ibu pada 22 Desember, karena menyentuh tema cinta ibu yang universal, meskipun diungkapkan dengan cara yang tidak biasa.

Puisi Joko Pinurbo menggambarkan seorang anak yang tidak dapat pulang menemui ibunya, meskipun di ujung tahun—waktu yang sering dianggap sebagai momen untuk berkumpul bersama keluarga. Keterpisahan ini mencerminkan kehidupan modern, ketika jarak fisik maupun emosional sering memisahkan anak dari ibu. Momen ini relevan dengan Hari Ibu, karena mengingatkan kita untuk menghargai waktu bersama ibu.

Dalam puisi itu, sang anak menceritakan kehidupannya yang penuh dengan kesibukan, benturan nilai, dan perjuangan politik. Ia mengungkapkan bagaimana Jakarta sebagai kota besar mengubah hubungan antarmanusia, dari persahabatan menjadi permusuhan. Hal ini mencerminkan kerasnya realitas sosial yang bisa menjauhkan seseorang dari akar keluarganya, termasuk sosok ibu yang penuh kasih. Frasa “Semoga Ibu selalu sehat bahagia bersama penyakit yang menyayangi Ibu” memiliki nada ironis namun sarat makna. Sang anak mengakui keberadaan penyakit yang mungkin diderita ibunya, tetapi tetap berdoa agar ibunya dapat menjalani hidup dengan kebahagiaan. Ini menggambarkan cinta yang penuh penerimaan dan doa, meski dalam keterbatasan.

Sang anak mengungkapkan bahwa ia sedang mencoba “meralat nasibnya”—sebuah ungkapan yang penuh pengakuan akan kesalahan dan perjuangan. Dalam narasi ini, kita melihat seorang anak yang, meskipun jauh, tetap ingin memberi kabar bahwa dirinya baik-baik saja, agar tidak membuat ibunya khawatir. Ini menunjukkan bahwa meskipun jarak memisahkan, sang anak tetap peduli terhadap perasaan ibunya.

Penutup puisi itu mengandung rasa haru yang dalam. Ungkapan “Sungkem buat Bapak di kuburan” mengingatkan kita bahwa meskipun sang ayah telah tiada, doa dan penghormatan tetap dipanjatkan. Ini menggambarkan nilai-nilai keluarga yang tetap dijaga.

Puisi Joko Pinurbo itu, jika dikaitkan dengan Hari Ibu, menyajikan refleksi tentang kasih ibu yang tidak pernah pudar, meskipun sang anak hidup berjauhan dan menghadapi berbagai tantangan. Joko Pinurbo dengan lembut menunjukkan bahwa ibu tetap menjadi tempat kembali secara emosional, meski fisik sang anak tidak bisa selalu hadir. Dalam konteks peringatan Hari Ibu, puisi ini mengajak pembaca untuk menghargai kehadiran ibu—baik secara fisik maupun dalam kenangan—dan menyadari pentingnya komunikasi, meski melalui surat atau doa.

Dengan gaya naratif yang lugas namun penuh makna, Joko Pinurbo mengingatkan bahwa kasih ibu adalah hal yang tak tergantikan, dan peringatan Hari Ibu adalah momen yang tepat untuk merenungkan, merawat, dan merayakan hubungan tersebut.

Puisi sebagai Medium Penggerak Perubahan

Puisi dapat menjadi medium yang kuat untuk membentuk pemahaman dan inspirasi tentang peran ibu. Dengan memperkenalkan puisi-puisi yang mengangkat nilai-nilai keibuan, generasi muda dapat belajar melihat ibu sebagai lebih dari sekadar simbol kasih sayang—mereka adalah pilar perubahan sosial dan pelopor pendidikan. Pada akhirnya, ibu dalam puisi bukan hanya gambaran idealistik, tetapi juga cerminan aspirasi yang bisa diwujudkan. Ibu modern, terinspirasi oleh banyak hal tentunya, adalah perempuan yang tidak hanya menjadi pelindung keluarga, tetapi juga penjaga cahaya peradaban.(*)

Nia Samsihono adalah Ketua Umum Satupena DKI Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.