Jam pelajaran kosong. Tak ada yang lebih mengasyikan selain jam pelajaran kosong. He…he…he…Eit tapi enggak sih. Soalnya, yang kosong justru pelajaran seni budaya yang nggak terlalu bikin otak panas.
Nah, karena kosong, anak-anak perempuan di kelas ngomongin lomba saman dan basket minggu lalu. Ya, memang. Mayoritas anak-anak perempuan di kelas gue anggota saman. Dari geng CKTB aja ada empat orang yang ikut. Kecuali gua, Linn, dan Sita.
Tiba-tiba. Anak-anak kaget dengan suara lantang dari lorong sekolah. Teriakan yang kendegeran menyuruh samil menahan amarah. “Ayo dong acaranya tinggal empat hari lagi tapi belum ada persiapan sama sekali. Gimana sih.” Benar. Teriakan itu adalah gerutu sang ketua kelas gue yang super-duper ganazzz.
“Di, gak usah ribet sih. Ini kan urusan anak-anak yang ditugasin buat ngehias panggung dan dekorasi kelas. Kita sih tinggal nampilin yang terbaik pas acaranya mulai,” Eca si gadis kecil menjawab ocehan Dina dengan nada lembut.
“Eh yau dah dong Ca, tapi kan gua ketua kelas. Pasti apa-apa yabg disalahin itu gua. Lu sih enak ngomong gitu,” Dina nyambar sambil telunjuknya hamper nyolok hidun Eca.
Seketika….. Tes-tes-tes. Mungkin seperti itu suara airmata Eca, jika saja terdengar. Eca nangis. Yap, Eca menangis. Entah mengapa. Anak-anak di kelas yang awalnya sibuk masing-masing menghampiri Eca memberi simpati. Salah satunya Linn, temen gue yang emang paling gak bisa ngelihat orang nangis. Lin, salah satu anggota CKTB yang dibilang cukup ‘care’ sama orang. Meski, kadang-kadang dia juga bisa dibilang SKSD alias sok kenal sok dekat. Hehehe…
“Ca, are you okay?” Suara Linn yang terdengar, seperti sedang membujuk anak kecil. Linn mendekap Eca dengan tatapan mata penuh rasa simpati. Eh, Eca malah semakin menjadi-jadi tangisannya. Apa boleh buat, jadinya semakin banyak anak lain bertanya.
“Eca kenapa?”
“Eca nangis karena apa?”
Gue hanya memantau tingkah laku anak-anak di kelas. Gue masih belum bisa memastikan dengan jelas. Tapi firasat gua kuat. Eca nangis karena Dina? Karena dibentak Dina? Ah, tapi apa mungkin? Gue gak tau pasti. Yap, sejak awal gua bilang. Gua gak tau pasti.
Tapi yang pasti dan benar, saat akhirnya Eca membuka mulut. Saat itu, dia bilang dengan enteng, “gue sedih aja. Gue kan cuma bilang kalau kita diem aja. Gak usah ngurusin hal yang bukan urusan kita.”
“Siapa yang lu maksud Ca? Coba kasih tau gue.” Tanya Rini dengan nada pertanyaan yang bisa dibilang nakutin.
“R…..” Nada suara Eca masih bergetar. Mungkin karena habis menangis. Jadi suaranya masih agak gemetar gitu.
“Siapa???” Tanya rini lagi.
“Di…..di….dina Rin,” jawabnya tersedu-sedu. Semua terkaget-kaget, tapi juga gak bisa berbuat apa-apa. Persiapan musikalisasi puisi di kelas gue jadinya bukan tambah beres, malah semakin mencemaskan.(*)