Malam bergerak, ketika Jogjakarta sedang diterangi lampu-lampu jalanan. Dari pusat keramaian Malioboro, kaki dibawa ‘turun’, bahasa para penghuni jalanan legendaris itu, untuk menyebut arah dari Utara Malioboro menuju alun-alun utara di depan keraton.
Bersama dua sahabat, saya memaksa diri jalan kaki. Tidak naik becak murah-meriah yang ditawarkan dengan setengah memaksa gaya Jogja. Tidak pula naik kereta kuda yang jauh lebih menyerupai turis. Jadi melangkahlah kaki-kaki kami yang sudah tak biasa berjalan jauh.
Dari dekat Stasiun Tugu, hingga di depan Pasar Bringharjo rasanya sudah seperti berjalan seharian. Terpaksa kaki harus diistirahatkan. Apa boleh buat, meski perut sudah kangen kepingin diisi Mie Godhok Pak Pele, langkah dihentikan sejenak.
Baru setelah lelah berkurang, kami menyeberang jalan di kilometer nol. “Ini bener-bener nostalgia. Napak tilas para seniman tempo dulu, “ kata Mas Kunto, seniman musik yang berambut gondrong, bertubuh ceking, tapi kalau bicara filsafat sangat maut.
Memasuki kawasan alun-alun, kami membelah rerumputan. Titik yang kami tuju adalah pojok alun-alun yang dari kejauhan seperti lampu kecil dikerubung laron. Benar. Kami memang sedang menyongsong Mie Godhok Pak Pele yang sangat legendaris itu.
Sampai. Tapi ya ampun. Puluhan orang sudah berkerumun, dengan sepiring mie godhok yang mlekoh. Sementara puluhan orang lainnya, duduk-duduk menunggu pesanan. Masih harus menanti. Mas-mas yang melayani memintanya untuk menunggu satu setengah jam. Astaga…
Tapi ya sudah. Setelah memesan tiga porsi, kami lesehan di pinggir jalan mengamati aktivitas warung Pak Pele yang sibuk luar biasa. Lalu, datang seorang pria gondrong dengan stela jas mlitis warna putih. Celana panjangnya juga putih. Terus, sepatunya, jengle yang sudah agak lusuh. “Izinkan saya mengamen. Bukan mengamen musik atau baca puisi, tapi sulap. Berkenankah?” katanya, sopan sambil tersenyum manis.
“Coba tanya mas ini yang sama-sama seniman,” kata Kang Cepi menujuk Mas Kunto yang ada di seberang tempat ia duduk. Namun karena lama tidak ada jawab, akhirnya pengame sulap yang seperti mau kondangan itu, pergi. “Ya sudah, sepertinya Anda semua tidak berkenan. Terima kasih.”
Satu jam sudah lewat. Saya sudah tiga kali menanyakan peesanan yang selalu dijawab dengan tenang. Padahal sudah sejak lebih satu jam lalu, perut kami sudah tidak bisa diajak tenang-tenang. Dan, setengah jam berikutnya, tiga piring menghampiri. Inilah Mie Godhok Pak Pele yang selalu menjadi tombo kangen setiap kali datang ke Jogja.(joy)