Bertemu Eko memberi hati Indrajit berseri. Ia seperti sudah melupakan keruwetan di sekolahnya. Persoalan-persoalan organisasi, pelajaran, dan terutama dilema Rini dan Indah, seolah musnah. Lalu, bertukar kisah-kisah liar Eko, lengkap dengan gaya tertawa yang membuat bioskop riuh.
Pemutaran film di jam pertama sudah agak lama dimulai. Jadilah, undak-undakan anak tangga menuju pintu masuk, menjadi wilayah kekuasaan Eko, Indrajit, dan seorang kawan Eko di SMA Lendah. Bertiga, ditemani rokok yang tinggal sepotong kecil, ngomongke (apalagi) kalau bukan wedhokan.
Tiba-tiba, Indrajit menjerit kecil. Jeritan spontan yang sama sekali tak ia kehendaki. Ia tak peduli dengan pertanyaan Eko, karena matanya fokus memandang lurus. Ada bayangan yang sudah sangat dia hafal: cara berjalannya, pawakan tubuhnya, rambutnya.
Melihat semua itu, Indrajit sudah langsung membayangkan bentuk senyumnya. Senyum takut-takut (atau senyum malu-malu) karena hanya sebuah tarikan bibir kecil, yang justru menyembulkan kesan sinis. Ya, senyum sinis yang pernah membuat hatinya sangat terluka. Ngece, rumongso ayu dewe. Ngenyek, menganggap semua orang punya naluri jelek.
Indrajit semakin yakin dengan sosok itu, begitu melihat seragamnya. Seragam yang membuat anak-anak SMA lain tidak berkutik. Jangankan mendekat, melihat dari kejauhan saja sudah minder, keder, lalu mlungker.
Tapi tidak dengan Indrajit. Digerakkan oleh hatinya yang berdegup kencang, Indrajit beranjak. Ia masih tidak peduli dengan pertanyaan Eko. Juga umpatannya yang khas karena merasa diabaikan. Sosok itu berhenti di seberang bioskop, menanti angkutan yang akan membawanya pulang. Agak aneh juga, mengapa ia harus jalan kaki dari sekolahnya di utara hingga bioskop yang ada di sisi selatan kota.
“Hai, masih kenal aku nggak?” Indrajit sudah berdiri di depannya, menunduk, menyepak-nyepak trotoar, lalu mengangkat kepala menantang matanya. Menanti jawaban si kriting yang punya senyum membunuh, Indrajit bekerja keras meredakan hatinya.
“Yo masih to.”
“Kok tumben sampai sini, mau pulang opo dolan?”
“Donge yo mau pulang, tapi nek njenengan jak dolan yo ora nolak,” akhirnya, senyum yang dinantikan Indrajit datang juga. Senyum itu, masih senyum yang serupa empat tahun lalu. Ia tak akan pernah melupakannya, karena bayangan senyum itu, disimpan sangat rapat di sudut hatinya. Indrajit tahu, senyum itulah yang membuatnya berada dalam dilema, selama ini.
“Kok njuk diam?” Kalimat itu menyadarkan Indrajit yang segera melemparkan matanya ke kejauhan. Ia kehilangan keberanian untuk memandangi wajah yang sejak tadi juga menyembunyikan rasa kaget.(bersambung)