Akhirnya, siang datang. Indrajit bergegas, melompat ke pintu kelas paling cepat. Ia tak peduli teriakan semua orang. Juga Tukijo yang setengah berlari meraih tanggannya namun gagal karena dikibaskan dengan lekas. Indrajit tidak ingin terganggu oleh apapun. Hari ini, hanya untuk Hestirini.
Keluar gerbang sekolah, menikung tajam ke kiri kemudian ke kiri lagi, Indrajit menyusuri lorong kecil di antara gang-gang rumah di Gadingan. Tiga buku ada dalam genggamannya, lalu dilihat lagi yang terselip di tengah. Buku milik Hestirini yang sepanjang semalaman membuatnya terperanggah. Buku yang membuka tabir rahasia hati gadis itu.
Melangkah ringan, tak lagi terasa panas yang sejak keluar sekolahan menyorotkan sinar paling panas di bulan-bulan kemarau panjang. Indrajit seperti tidak ingin terlambat. Ia ingin memastikan datang lebih dulu di banding Rini. Jadilah, dengan langkah panjang-panjang, ia hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 12 menit untuk sampai di depan bioskop.
Matanya menari, mencari sosok yang dikenali. Disipitkan, sekaligus untuk menahan terik matahari. Tapi yang dicari tak ditemukan. Ia menepi. Bersandar di pagar. Mengangkat kaki sebelah ditekuk di lekuk pagar yang mulai berkarat. Kembali matanya dilarikan ke semua sisi.
Panas yang memanggang, telah ditahan. Tapi Hestirini tak kunjung datang. Indrajit sudah berganti-ganti posisi, berubah-ubah ulah, tapi yang dinanti tetap tidak muncul. Menghela nafas, langkahnya kini diseret berat. Ia menyeberang, mencari peneduh di beranda bioskop. Dari tempat yang lebih eyup, ia masih berharap melihat bayangan Rini dari kejauhan, lalu berdiri menanti di depan bioskop.
Tapi begitulah. Matanya telah lelah, setelah menyerah, menyadari Hestirini ingkar janji. Ia tak datang, seperti yang ia janjikan. “Sesok aku tak tunggu di tempat tadi. Awas nek ra teko,” kalimat Hestirini itu, masih sangat ia ingat. Setengah memaksa, ia mengajak bertemu di tempat tadi yang artinya di depan bioskop, tempat mereka bertemu, kemarin.
Indrajit tersenyum. Senyuman yang pahit, merasa terlalu berharap pada sesuatu yang sejak empat tahun lalu, telah diputuskan untuk dibekukan, disimpan, diprasastikan dalam hati. Rini, selama ini, telah ia kutuk menjadi Roro Jonggrang yang membatu. Tapi sejak kemarin, harapannya kembali hadir. Harapan bahwa Jonggrang hidup dan menerima cintanya.
Perlahan, Indrajit membuka buku lusuh yang kemarin diberikan Hestirini. Ia tak lagi berniat membacanya. Di bagian terakhir buku yang menyisakan satu lembar kertas kosong, Indrajit melukis hatinya yang layu. Tangannya gemetar saat menuliskan kalimat begini, “Kamu boleh pergi, hari ini. Tapi kamu akan mencariku lagi. Sebab kamu tahu, hanya aku pemilik hatimu yang sesungguhnya. Sampai jumpa, di sebuah hari…”(bersambung)