Cinta sedang menjerat rekat hati Indrajit sehingga membuatnya kehilangan kata-kata. Lebih rumit lagi, pada saat bersamaan, cinta itu, memberi dilema yang sulit diurai. Rini, baginya, adalah mimpi yang tak mudah dijamah, bahkan ketika mereka sudah sepakat untuk membuat hubungan menjadi semakin mudah.
Sepulang dari depan bioskop dalam suasana hati tak menentu, Indrajit linglung. Ia merasa diombang-ambingkan oleh kenyataan bahwa Rini sangat sulit ditebak. Isi hati yang serasa sudah teraba, ternyata memberi kejutan-kejutan yang menyakitkan. Indrajit sungguh merasa tercubit, mak clekit, oleh ulah yang semestinya tak tega ia lakukan.
Dan, hari ini, ia sudah tiba di sekolah pagi-pagi sekali dengan jiwa bagai selongsong kosong. Tidak ada gairah, selain sekadar memenuhi absen, lalu memilih mlipir, menghabiskan hari di warung Mbokde, di samping kiri sekolah. Ia tak peduli dengan sekitarnya, karena yang dipedulikan hanya rasa sakit di hati.
“La iku Indrajit koyo wong degleng. Jit, kowe ndangdi wae, dicari orang satu sekolah malah ndekem nang kene,” teriakan itu mengagetkan. Untuk sesaat, Indrajit seperti disengat tegangan tinggi yang membuat tubuhnya tergetar. Kedatangan Dik Ning bukan hanya aneh, tapi juga membawa hantu yang membuat sendu.
“Wes ya, tak tinggal,” Dik Ning melangkah tanpa meminta persetujuan. Ia hanya melambai pada orang yang diantar menemuinya. Hestirini. Gadis itu muncul tiba-tiba, menyibak semua kemustahilan. Ia tidak lagi memakai seragam, pasti karena sudah mempersiapkan diri untuk menemuinya. Bukankah akan sangat ajaib, jika ia muncul ke sekolah Indrajit yang dipenuhi cah ndugal dengan memakai seragam cokelat muda kebanggaannya itu.
“Maafin Rini ya Jit. Mau kan kamu maafin. Ini untukmu…” Indrajit terpana. Lalu, mematung, linglung seperti mbilung. Ia tak pernah membayangkan, Rini akan memberikan ciuman kilat sebagai permintaan maaf. Bukan ciuman langsung memang, melainkan lewat dua jarinya yang ditempelkan ke bibir lalu dibawa ke pipi Indrajit.
Semua dilakukan tanpa kata, begitu saja tak didahului dengan pembukaan, basa-basi, atau subo-sito yang membuatnya memiliki kesempatan mempersiapkan mental. Kesadaran Indrajit hilang tiba-tiba. Tapi ciuman itu, masih meninggalkan hangat di pipinya. Antara malu, senang, tapi juga heran, Indrajit seperti dikutuk menjadi batu. Kaku. Ia juga tak berani melihat ekspresi Rini yang ikut menjadi patung. Bisu.
Jadilah, siang di warung Mbokde di samping sekolah, berubah sangat senyap. Sepi seperti ratri kehilangan seri. Sementara itu, isi hati Indrajit suwung ditinggal jiwanya yang membumbung, melambung, menyentuh wuwung.(bersambung)