Belum terlalu sore untuk meninggalkan sekolah. Hari ini, Indrajit memiliki gairah yang meledak-ledak. Ia berlarian sejak dari rumah, untuk kemudian menemui Pak Sum. Ia adalah orang tua yang sangat ramah, ngayomi, dan sering cerita tentang perjalanan hidupnya yang tidak mudah, termasuk saat ikut menjadi Tentara Pelajar di zaman revolusi.
Kepada Pak Sum, selalu Indrajit lebih banyak bersama, jika sedang tidak bersemangat. Sudah sejak pulang kemarin sore, ia ingin mendengar kembali Pak Sum cerita soal wayang. Juga nama Indrajit yang banyak dihindari oleh para orang tua yang ingin memberi nama anaknya.
“Ora popo jeneng Indrajit. Satrio Ngalengko. Nek soal apik-elek, kuwi gumantung sopo sing ngarani. Awake dewe ki, salahe mung diwarahi nek wayang sing apik kuwi Pendowo. La cobo wacanen buku Serat Tripomo iki,” suatu kali, Pak Sum tergopoh membawakan buku lawas. Serat Tripomo. Dia minta untuk disimpan, kelak akan berguna untuk memahami hidup.
Bersama Pak Sum, Indrajit memang lebih banyak diam. Sebab, tidak jarang, ia gagal memahami omongan pria tua yang diberi rumah di pojok sekolah, untuk menjaga dan merawat sekolah. Ia, Pak Sum, menurut para guru, adalah seniman di masa mudanya. Mengembara setelah revolusi selesai, lalu kembali ke Sogan, kampung halaman leluhurnya.
Sudah mendekati jam dua siang. Indrajit sengaja tidak ikut di jam pelajaran pertama, meski harus disemprot Pak Sum. Ia hanya ingin titip sesuatu kepadanya, dan pada jam dua itulah ia memiliki kesempatan bicara.
“Pa, mbenjang nyuwun tulung njih,” takut-takut Indrajit mendekati Pak Sum yang sibuk dengan cangkul kecil, ndangir tanaman cabe di antara pohon jeruk dan bebungaan.
“Opo kuwi.”
“Anu, mbok kulo dipencoke kembang ten ngarep niko. Njuk titip sak ler, dislusupke ten bangku kulo,” masih ada lanjutannya kalimat itu, tapi Pak Sum telanjur berdiri, lalu memandangi Indrajit. Tidak lama, karena segera saja, tawa yang ngikik, tidak keras tapi mendengungkan suara tertahan, pecah. Tawa yang orang satu sekolahan tahu hanya milik Pak Sum.
“Wo jebul itu to. Jadi bener critane Mbak Fajar kemarin itu.” Pak Sum bicara tanpa mempedulikan Indrajit yang terjepit di antara dua pertanyaan tak terjawab. Cerita apa yang didengar Pak Sum dari orang yang ia sebut Mbak Fajar.
“Beres mas, besok tak pencoke flamboyan. Terus tak taruh di bangkune mas Indrajit sak ombyok,” katanya, tersenyum seperti ingin menggoda Indrajit. Tapi untuk apa flamboyan sak ombyok. Ia hanya minta satu helai.
“Ampuk sak ombyok, sak ler mawon.”
“Ya biar cintanya tambah merah to mas,” lagi-lagi Pak Sum tersenyum. Tinggal Indrajit yang menjerit dalam hati, khawatir jika esok hari, Pak Sum benar-benar mencok satu pang, dan menaruh flamboyan sak ombyokan. Akan seperti apa jadinya. (bersambung)