Paidi sedang sial, kantong celana panjangnya kosong. Padahal dari kost sudah mempersiapkan recehan untuk membayar tiket bus. Uang yang tidak seberapa dicopet, tanpa terasa. Uang untuk menyambung hidup harus raib percuma. Padahal dapat dipakai untuk makan dan keperluan lainnya.
Satu pelajaran sangat berharga. Paidi harus lebih waspada, ojo gumunan, ojo gampangan dan ojo dumeh. Teman seperjalanan di bis kota, tampak sopan, rapi dan perlente seperti orang kantoran. Ternyata orang mencari kesempatan, menunggu lengah orang lain. Terepana karena penampilan, necis dan besus. Tak disangka, tak dikira ternyata dandanan hanya sebagai kedok belaka.
“Yo wis, ora usah ditangisi,” Paidi menenangkan dirinya. Kalau tidak ada yang dimakan yang puasa, tirakatan cegah dahar cegah sare. Agar kepala menjadi dingin, hati tidak kemrungsung. Syukur barokah menyertai tirakatan, sambil meper kadigdayane raga yang sering komplang. Membesarkan hati agar tenang, sekaligus mengambil pelajaran penting, kewaspadaan terhadap lingkungan dan alam sekitarnya.
“Perempuan,” demikian Paidi membatin. Apakah perempuan metropolitan juga ada yang seperti itu. Mirah. Ya Mirah, bukankan sangat baik lahir dan batinnya. Tidak ada yang ditutupi, tidak ada yang disembunyikan. Semua apa adanya. Perempuan memang, tapi bukan Mirah. Meskipun ada perempuan yang berdandan, menyembunyikan watak aslinya tapi pasti bukan mirah.
Paidi mulai membiasakan diri dengan kehidupan metropolitan. Bersama teman-temannya, menjalani kehidupan bersama dan berinteraksi dengan berbagai kalangan orang. Teman-temannya ada dari kalangan anak pejabat, ada anak sodagar dan ada juga anak petani. Paidi tidak perlu merasa minder, meski bukan anak pejabat atau anak sodagar kaya. Dalam hati Paidi bangga, anak dari dusun di pelosok yang jauh dari keramaian dapat berinteraksi dengan berbagai kalangan.
Kampus tempatnya berkompetisi, seperti ketika masih di sekolah kampung mewakili teman-temannya lomba cerdas cermat. Guru kelas lima sekolah dasar di kampung halaman menunjuk Paidi untuk menyertai juara-juara dalam lomba cerdas cermat tingkat kecamatan. Belum mampu bertanding mewakili di tingkat kabupaten, namun banyak pengalaman dan siasat untuk mendapatkan kemenangan.
Juga di kampus. Banyak anak pejabat, anak sodagar dan orang kaya. Paidi tetap dalam pendiriannya, ilmu boleh didapatkan dari mana saja. Kompetisi dan kompetensi yang menyertai masyarakat kampus sehingga siapa yang mampu akan tampil di depan mewakili teman-temannya.
Paidi tampil di depan, membacakan puisi. Menggelagar membahana dan penuh kekuatan suaranya. Menyuarakan masyarakat tertindas. Keberpihaknnya jelas membantu masyarakat yang terpinggirkan. Agar kampus tidak menjadi menara di tengah masyarakatnya. Kampus harus tampil sebagai ujung tombak mewakili suara hati yang paling dalam.
“Kedungombo Menangis,” Paidi mengawali puisinya. Ketika itu pembangunan waduk yang menenggelamkan empat kecamatan yang berbatasan di kabupaten Boyolali dan Purwodadi menenggelamkan sebagian masyarakat. Bedol deso masyarakat tercerabut dari akar budayanya, masyarakat terpaksa harus meninggalkan kampung halamanan dan tanah kelahirannya merantau jauh di tanah harapan. (bersambung)