Siang-siang terik, mlipir ke sisi selatan Kabupaten Kebumen, bertemulah dengan Ki Setyo Budi. Seorang dalang Kebumenan, tokoh tosan aji, serta ahli spiritual. Banyak cerita yang menarik, setiap bertemu dengan Ketua Umum Perkumpulan Tosan Aji Brajabumi ini. Terutama tentang wayang kebumenan.
“Wilayah itu sangat berpengaruh dalam memunculkan gagrag. Kebumen itu kompleks. Dalam wilayah Kebumen terbagi dalam beberapa gagrag. Misalnya Ngambal dan Mirit, karena dulu sering disebut wilayah Monconegari yang berada di wilayah Mataram, jadi lebih cenderung ke gaya Jogja,” jelasnya.
Berbeda dengan Kebumen di sebelah utara, seperti Seruni atau Kutowinangun. Karena dulu sejarahnya kebawah wilayah Surakarta, kebanyakan gagragnya ikut Surakarta.
“Tapi beda lagi kalau kita bicara kulon Kali Luk Ulo. Misalnya daerah Karanganyar atau Gombong. Itu wayangnya lebih cenderung ke pesisiran Kebumenan atau sekarang disebut gagrag Kebumenan,” ungkapnya.
Tentang gagrag Kebumenan, orang barangkali agak kurang familier, karena memang terbatas di wilayah Kebumen ke arah barat.
“Tapi karena generasi penerus dalang-dalang Kebumen, banyak belajar ke Jogja dan Solo sehingga banyak memakai gagrag Jogja dan Solo. Akhirnya yang asli Kebumen ditinggalkan kemudian malah diadopsi dalang Banyumas yang kemudian disebut gagrag Banyumasan,” kata Ki Setyo Budi.
Salah satu tokoh Pepadi Kebumen ini, juga menyinggung sedikit tentang gagrag Kedu. “Itu wilayah Begelen. Yang masuk ke gagrag ini, misalnya Wonosobo. Jadi gagrag kebumenan yang asli wayangnya memakai wayang Kedu,” tuturnya.
Menurut Ki Setyo, Kedu memang spesial karena pada saat itu ada semacam usaha untuk berbeda dengan wayang dari Jogja dan Solo. “Bukan pelarian tapi memang beliau keluar dari wilayah keraton kemudian membuat gaya sendiri yang disebut gagrag Kedu,” jelasnya.
Turunannya dari gagrag Kedu ini, ada istilah wayang Kaligesingan. Wayangnya beda dengan Solo dan Jogja. Badannya lebih gemuk dan lebih membungkuk.(kib)