Pagi-pagi, hari Sabtu kemarin, gue, Sazkia (adik gue yang nyebelin banget karena suka ngejahilin gue) dan ayah pura-pura sibuk. Ya, sibuk dengan kesibukan masing-masing. Memang, ini hal yang kami lakukan tiap hari. Sibuk, seolah tak peduli dengan sekitarnya. Namun kesibukan ini berbeda. Sebab, kesibukan yang pura-pura untuk menyembunyikan sebuah kejutan.
Tiba-tiba, setelah pagai mulai berancak siang, ayah menarik aku dan Sazkia ke dalam kamar. “Kak, dek, rencana kita kali ini gagal. Bunda tidak memperdulikan kita,” katanya sambil menggosok-gosok hidungnya, seperti kebiasaan ayah yang paling gue benci.
Hening. Gue dan adek tidak menjawab. Tapi otak gue tetap berputar. Mencari akal. Memikirkan hal yang kemarin. Sebuah kejutan ulang tahun. Yaa, mungkin candle-light-dinner lebih baik. Tapi? Apa mungkin ayah akan meng-iyakannya?
Atau mungkin gue buat rencana sendiri? Dengan uang tabungan gue biar gak ngerepotin ayah dan bunda? Atau gue berkerjasama dengan Sazkia? Meski punya adik nyebelin, tapi sekali-sekali diajak mikir biar isi kepalanya bekerja.
Aaaa…brainwash, gue butuh brainwash buat nyuci otak gue biar bersih. Biar gak mumet. Oke, bisa nanti gua bicarain ini sama adek di sekolah. Kali ini gue mau ngadem dulu, otak rasanya udah kayak kompor mau mledug. Panas.
Sesampainya di sekolah gue cuma bisa merenung. Masa iya setiap kali gue ulang tahun selalu dirayain sama bunda dan ayah. Tapi giliran bunda berulang tahun, gue gak bikin apa-apa. “Ada apa Sita sayang?” Seketika Feni mendekat dan berkata mengagetkan. Tapi gue tidak mengunci bibir.
Sekali lagi. Feni bertanya hal yang sama. Dan gue menjawab, “Gue bimbang Fen.”
“Kenapa?”
“Hari ini bunda ulang tahun, tapi gue bingung mau ngasih apa ke dia. Gue pikir sih candle-light-dinner sekeluarga? Tapi apa mungkin? Lalu gimana caranya?” Feni ikut diem, kayaknya sih ikut mikir, tapi tau deh, soalnya setelah diem, ketawa panjang banget.
“Yaa tinggal lu bikin memo dengan bertulisan tempat yang akan lu datengin nanti malem. Beres kan?” itu singkatnya.
Wah, bener juga tuh. Tumben si Feni otaknya menyala. Yap, gue setuju. Dan benar. Malemnya, bunda ama ayah terkejut dengan memo di depan kulkas. Apalagi, dua anak perempuannya tidak ada di rumah.
Yaa, ayah dan bunda pun bergegas menyusul Gue dan Sazkia. Salah satu restoran di kota Tangerang. Nah, pas bokap-nyokap gue dating, gue udah tahu, soalnya dari kejauhan udah kelihatan. Jadi, saatnya membuat kejutan.
Mereka sampai, tapi tidak menemukan gue dan adek. Yang nyambut malah badut-badut aneh. Dengan atraktif, badut-badut itu mempersilahkan mereka. Baru deh, gue muncul bareng adek, bareng kue ulang tahun.
Loh tapi kok malah gak ada yang terkejut? Bunda bukannya teriak histeris atau gimana gitu. Ayah juga diam tanpa kata. Jadinya gue yang kebingungan sendiri. Gue senggol Sazkia, dia juga geleng-geleng kepala. Lama. Semua terpaku. Gue makin tersiksa. Ada apa ini? Mungkinkah, kejutan ini salah sasaran?
Pelan-pelan, yang justru maju menghampiri gue ayah. Dia mengambil kue ulang tahun, meletakkannya di meja. Lalu, dia merangkul gue. Ada haru yang membuat tersedak.(*)